Pages

Kamis, 16 Januari 2014

Surat Terbuka Kepada Para Pelajar Indonesia; “Muridku, Jangan Jadi Penjajah Bangsamu Sendiri”








Mencermati hari-hari terkini di dalam negeri ini, saya –sebagai anak bangsa– yang  mendapat amanah menjadi guru, merasa sangat tidak enak hati. Bagaimana tidak, berbagai berita media massa didominasi pencederaan terhadap nilai-nilai luhur bangsa: korupsi aparat negara, anarkisme buruh, pelajar dan mahasiswa, premanisme, pembodohan dan kemiskinan struktural, dan seabreg kejahatan lain yang tidak bisa diterima akal sehat. Saya ingin sekali mengajak para pelajar seantero negeri untuk berkontemplasi sejenak, berfikir ulang tentang makna kemerdekaan. Kepada mereka, saya menulis surat ini.

Muridku,
Telah genap 66 tahun bangsa Indonesia lepas dari belenggu penjajahan asing. Setelah lebih dari tiga puluh lima dekade menjadi bangsa yang hina dan nista berada dalam tekanan, dominasi, dan eksploitasi tanpa batas. Proklamasi 1945 pada awalnya adalah titik kulminasi dari serangkaian perjuangan tanpa pamrih para pejuang kemerdekaan. Proklamasi 1945 adalah harga setimpal dari pegorbanan harta, darah, dan nyawa para pejuang. Tapi seiring perjalanan waktu, proklamasi mulai kehilangan makna; tidak lagi menjadi akhir penjajahan, tapi perlahan menjadi awal dari penjajahan babak baru, sebuah estafeta kolonialisme yang mengerikan.
Sejarah telah banyak, bertutur kepada kita mengapa dulu kita terhina dan terinjak selama lebih dari 350 tahun. Saya yakin kalian percaya, pada awal kedatangannya, para pedagang Portugis atau Belanda itu memang menyimpan misi dominasi dan eksploitasi terhadap penduduk di kepulauan nan subur ini. Tapi percayakah kalian bahwa keserakahan para pedagang bule itu bukanlah alasan terbesar mengapa akhirnya drama horor penjajahan itu terjadi. Tidak, bahkan pada awalnya mereka dipenuhi keraguan dan ketakutan; mereka hanyalah pendatang dari tanah yang jauh.
Episode pertama dari drama horor itu adalah negosiasi kepada para penguasa tanah ini, yaitu para raja dan tuan tanah, para penguasa politik dan ekonomi. Negosiasi itu tentang pembagian keuntungan di antara mereka: para bule menawarkan emas, uang, dan tentu saja hiburan ala bule yang meningkatkan libido para raja lokal plus kesempatan pelesir ke Eropa bersama keluarga dan kolega. Kemudian para bule ‘hanya’ meminta ‘sedikit’ flora-fauna tropis dan ‘beberapa kaplingan tanah’. Akhirnya –kita semua tahu– para  raja setuju, kemudian kedua belah pihak menggelar pesta atas suksesnya super deal itu.
Para raja begitu nyata tidak berpihak kepada rakyatnya dan hanya menghitung keuntungan materi dari kerjasama itu. Akibatnya, di balik panggung pesta itu, rakyat jelata merana. Demi melengkapi segala kebutuhan pesta gila itu, mereka harus bekerja pagi, sore, siang, dan malam. Para jelata makin kurus, para raja makin gemuk, dan para bule melenggang kangkung di kandang lawan (karena yang seharusnya lawan, kini sudah jadi teman). Demikianlah, percampuran keserakahan para tamu yang tidak tahu malu dengan keserakahan tuan rumah yang tidak peduli, telah menyisakan ampas sejarah itu: penjajahan. Benarkah mereka tidak malu? betulkah mereka tidak peduli? Tentu saja tidak, malu dan peduli adalah dua kata pertama yang hilang dari kamus para serakah, para penjajah.
Demikianlah, telah jelas bagi kita skenario hitam kolonialisme, yaitu konspirasi jahat antara pihak asing dengan penguasa –politik dan ekonomi– domestik. Karenanya jangan heran kalau ada beberapa raja pada masa itu kurang setuju menyebut Portugis dan Belanda sebagai penjajah. Sebab mereka telah merasakan cukup banyak ‘kemajuan’ selama kerjasama dengan pihak asing itu. Bukankah asing itu telah membangun begitu banyak sarana dan prasarana di kerajaan? dan bukankah anak-anak para bangsawan sudah bisa bersekolah di sekolah-sekolah khusus kaum bangsawan? Kedengarannya sangat logis kan? Memang begitulah pola pikir para opurtunis borjuis. Kepentingan rakyat tidak pernah masuk prioritas.
Setelah episode pertama berjalan mulus, yaitu setelah mendapat simpati dari para penguasa setempat, pihak asing itu makin merajalela. Mereka akhirnya mendominasi seluruh regulasi, baik dalam bidang politik, ekonomi, militer, dan sebagainya. Para raja yang lengah pada awal cerita, perlahan mulai menjadi pecundang, sub-ordinat, dan bahkan sama sekali kehilangan otoritas. Para raja akhirnya dipaksa tunduk bertekuk lutut dan mengakui kedaulatan asing di tanah mereka sendiri. Sungguh ironis; para raja masih memakai mahkota dan duduk di singgasana, tapi sudah tuna kuasa. Pihak asing menjadi penguasa tunggal, single absolute authority. Episode selanjutnya mudah ditebak: eksploitasi SDA dan dehumanisasi SDM tanpa batas.
Para raja yang telah menjadi pecundang di kandang sendiri, akhirnya mencoba bangkit, merebut kembali supremasinya. Tapi ibarat pohon, mereka merasakan betapa sulitnya upaya kebangkitan itu, terutama setelah sekian lama sikap kepedulian tidak dipupuk dan tangkai-tangkai kewenangan yang sudah dipangkas habis pihak asing. Dalam upaya kebangkitan itu, para raja se-nusantara memiliki motif berbeda; sebagian kecilnya berjuang dengan alasan idealis-ideologis, Pangeran Diponegoro di Jawa, Pangeran Antasari di Kalimantan, dan Sultan Hasanuddin dari Sulawesi adalah representasi fenomenal dari golongan minoritas ini. Yang paling banyak adalah raja-raja yang melawan setengah hati (tidak total, apalagi tulus) dan akhirnya kalah total. Sisanya hanya berkutat dengan perang antar sesama saudara dengan motif materi dan keserakahan yang nyata, menjadi sasaran empuk dari politik devide et imperaBelanda.
Demikian pula dari kalangan rakyat jelata, ada juga sedikit dari mereka yang maju ke medan konfrontasi bergabung dengan barisan para pejuang. Tapi kebanyakannya telah tumbuh menjadi pengecut, dan tidak peduli. Ternyata ketidakpedulian bukan hanya menjadi trade markpara penjajah, tapi juga menjadi ciri utama kaum terjajah. Selain itu, yang juga banyak jumlahnya adalah para jelata yang menjadi mata-mata dan tukang pukul pihak Belanda. Inilah ‘anjing-anjing peliharaan’ para meneer yang banyak berkeliaran di kampung-kampung; menggonggong dan menggigit saudara sendiri.
Muridku,
Bandingkanlah episode kelam penjajahan itu dengan realitas kehidupan berbangsa kita hari ini. Tidakkah kalian melihat begitu banyak kesamaan? Tentang ‘raja-raja’ kita yang menjual murah kekayaan alam negeri ini kepada korporasi asing, tentang gemerlap mewahnya kehidupan para petinggi negara dan daerah dari hasil negosiasi itu plus dana APBN dan APBD yang mengalir deras ke rekening pribadi dan kolega mereka, tentang para preman yang menghantui ibu kota hingga pelosok desa, tentang pemimpin di berbagai lini yang serakah dan tumpul rasa peduli, tentang wong cilik yang tumbuh menjadi pengecut dan juga tidak peduli, tentang budaya instan yang menjalari hampir kita semua, tentang A sampai Z coreng-moreng yang merupakan ciri-ciri substantif penjajahan yang masih melekat di sekujur tubuh bangsa besar ini?
Muridku,
Maafkanlah aku, bila mengatakan bahwa kita belumlah benar-benar merdeka. Ciri-ciri orang merdeka belumlah dimiliki sebagian besar masyarakat kita; mereka masih tertinggal jauh, tidak punya akses, uneducated, miskin, dan frustrasi. Ciri-ciri orang memerdekakan belumlah dimiliki mayoritas  pemimpin kita; mereka masih terlalu sibuk dengan proyek pribadinya, terlalu banyak basa-basi, pakem kepemimpinannya masih tradisionalis-formalis-egois-opurtunis. Mereka belum lagi peka, belum mau peduli, belum mau melayani, belum, belum, dan memang belum.
Mengapa akhirnya kita bisa merdeka? Adalah pertanyaan yang menjadi diskursus menarik untuk dikaji ulang, bukan hanya karena ia menjadi segmen sejarah yang sangat penting, tetapi juga karena ia harus menjadi road map bagi generasi hari ini untuk menapaktilasi jalan kemerdekaan sejati. Ada dua argumen utama sebagai jawabannya. Pertama, semangat kepahlawanan, yaitu semangat mau berkorban untuk kepentingan yang lebih besar, mengikis egosentrisme dan megalomania, penuh totalitas,  dan tidak mengharap imbalan apapun. Kedua, semangat nasionalisme, yaitu semangat dan kerangka juang yang menasional; menyeluruh secara demografis dan antropologis, tidak lokalis, dan tidak etnosentris.
Dengan semangat kepahlawanan yang tertancap kuat, maka benih penjajahan tidak akan pernah tumbuh.  Kepahlawanan dan penjajahan adalah dua kutub kontradiktif; kehidupan bagi yang satu berarti kematian bagi yang lain. Individu yang merdeka adalah yang bermental pahlawan, demikian pula komunitas dalam skala apapun, hanya mereka yang memiliki sifat kepahlawanan yang tidak akan terjajah. Para pahlawan tidak pernah terjajah, mereka lebih memilih maju ke medan tempur dan membangun barak pertahanan di hutan-hutan, tidak pernah mengeluh dalam dingin yang menggigit, lapar yang melilit, dan luka-luka yang parah. Jangankan hanya harta dan tenaga, bahkan nyawa siap mereka korbankan demi kata merdeka. Jadi bisa kita katakan bahwa proklamasi itu adalah dari, oleh, dan untuk para pejuang, para pahlawan.
Semangat kepahlawanan yang terserak dalam ranah individual dan terlokalisasi dalam lingkup kedaerahan, tidak akan pernah cukup untuk mengenyahkan penjajahan yang super power. Ia harus dipersatukan dalam wadah yang lebih besar agar memiliki kekuatan yang juga super. Demikianlah nasionalisme harus menjadi wadah semangat kepahlawanan yang membara. Tanpa wadah itu, semangat kepahlawanan akan habis tertumpas tanpa bekas. Analogi relasional antara semangat kepahlawanan dan semangat nasionalisme adalah bagaikan sebutir telur: kepahlawanan adalah isinya, nasionalisme adalah cangkangnya. Isi tanpa cangkang hanya akan membusuk dengan cepat, sebaliknya cangkang tanpa isi hanyalah benda ringkih tiada fungsi. Kepahlawanan minus nasionalisme hanya memberikan kemerdekaan temporal dan parsial, sementara nasionalisme tanpa kepahlawanan bahkan tidak akan memberi kemerdekaan apapun.
Semangat kepahlawanan lokalistik dan sporadik yang bergejolak di seantero nusantara, hanya membuat penjajah bergeming. Sampai sejarah akhirnya memberi validasi tentang sahihnya kolaborasi kepahlawanan dan nasionalisme itu. Adalah Budi Oetomo pada 1908, kemudian disusul Soempah Pemoeda 1928 lahir sebagai kanal potensi besar kepahlawanan anak-anak negeri yang akhirnya bermuara pada momen gigantis dalam lakon sejarah heroisme yang panjang: proklamasi 17 Agustus 1945.
Muridku,
Munculnya carut marut bangsa hari tidak lain kecuali disebabkan oleh krisisnya semangat kepahlawanan dan nasionalisme anak-anak bangsa. Inilah PR terbesar semua komponen bangsa hari ini tanpa kecuali. Jadi, mari kita semai benih kepahlawanan itu sekarang, kita tidak boleh menundanya, karena penundaan hanya akan memperpanjang nafas keterjajahan dan penistaan terhadap diri dan negeri. Mari bersama kita siram dan pupuk benih itu dengan nasionalisme sejati, bahwa kita adalah milik Indonesia dan Indonesia adalah milik kita.
Marilah, mari datang ke sekolah pagi-pagi, mulailah hari dengan optimisme pahlawan sejati untuk mengerahkan seluruh energi dan potensi meraih prestasi. Bukalah lembar demi lembar buku pelajaran itu dengan rasa ingin tahu yang menggebu. Jalinlah hubungan yang humanis lagi harmonis dengan rekan-rekan dan semua guru. Berbahasalah yang sopan nan elegan. Peliharalah kerapihan, kebersihan, dan keasrian lingkungan agar sekolah menjadi rumah yang nyaman. Berolahragalah dengan penuh gairah, dan jangan biarkan sedikitpun ada sampah. Jauhi rokok, miras, dan narkoba dan tidak usahlah mengenalnya. Masukilah laboratorium dengan senyum. Duduklah membaca sembari menganalisa di perpustakaan dengan rasa nyaman.
Setelah itu, pulanglah ke rumah dengan wajah cerah. Temui ayah, ibu, dan saudara, pergaulilah mereka dengan santun dan penuh etika. Tambahlah waktu belajarmu di rumah secara mandiri, manfaatkan teknologi informasi. Jangan sekali-kali bertindak anarkis, jangan pula sentuh itu pornografi, tahanlah diri. Kemudian tekunlah beribadah, jaga hubunganmu dengan-Nya agar segala urusanmu menjadi mudah.
Murid-muridku,
Aku tahu, begitu sulit menjadi pahlawan hari ini, ada begitu banyak godaan, ada sedemikian rupa hiburan yang menyesatkan. Selamanya tidak mudah menjadi pemuda yang baik. Memang, selamanya selalu sulit menjadi pahlawan, tidak akan pernah ringan, ada begitu banyak rintangan. Tapi itulah satu-satunya jalan kemerdekaan, tidak ada jalan lain. There’s no way but one. Jadi berjuanglah, jangan pernah menyerah, jangan, sekali-kali jangan.
Marilah murid-muridku. Mari kita berpegangan tangan, satukan visi, satukan misi, satukan aksi. Berjuang tiada henti, untuk kemerdekaan sejati, untuk Indonesia Raya yang benar-benar merdeka; rakyat adil, makmur, dan sejahtera. Untuk Indonesia yang menjadi pemenang. Untuk menang kita harus berjuang, tiada yang berjuang kecuali pahlawan. Untuk menjadi pemenang esok hari, kalian harus jadi pahlawan hari ini. Untuk menjadi pahlawan bagi bangsa kemudian hari, kalian harus menjadi pahlawan di rumah dan di sekolah hari ini. Jadilah pahlawan bagi ayah-ibu dan bapak-ibu guru lebih dulu, kelak nanti kalian akan jadi pahlawan bagi bangsa dan negara.
Ya, hari ini, tumbuhkan kejujuran dalam dirimu, jangan pernah mencontek meski kalian tidak diawasi. Rawatlah sikap toleransi dan rasa empati kepada sesama, jangan sekalipun pernah mengejek temanmu, sehebat apapun kamu. Kembangkanlah sikap disiplin dan patuh terhadap segala aturan, jangan coba-coba membolos, siapapun yang menggodamu. Dan jangan pernah alpa untuk menjadi religius dalam kondisi apapun. Tumbuhkembangkan semua itu, kelak kalian pasti tumbuh menjadi pahlawan, menjadi protagonis dalam kisah kemerdekaan. Bersihkan dirimu dari kuman keserakahan, ketidakpedulian, dan egosentrime. Bila tidak, kalian hanya akan tumbuh menjadi pecundang, menjadi antagonis dalam lakon penjajahan tiada akhir.
Murid-muridku,
Saat ini kalian adalah pemimpin untuk diri sendiri. Setelah itu kalian akan menjadi pemimpin bagi orang lain. Saat tongkat estafet itu ada di tanganmu, maka jadilah pengayom, jadilah pelayan, jadilah pahlawan. Jangan justru menjadi penindas, jangan menjadi penghianat. Jangan jadi penjajah bangsamu sendiri!

*Penulis adalah Peserta Lomba Essai Guru Nasional Lazuardi Birru tahun 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar