Pages

Kamis, 09 Januari 2014

Melawan Bosan dengan Berpikir Kreatif



Oleh: Ahmad Baedowi*  

SEORANG guru agama pada sebuah sekolah menengah pertama (SMP) di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, mengeluh tentang rasa jenuh dan bosan yang menerpanya setiap saat ketika mengajar. Perasaan bosan dalam mengajar seperti virus yang setiap saat menggerus keyakinannya bahwa mengajar ialah ibadah.
Perasaan bosan juga muncul karena apa yang diajarkannya kepada siswa selalu harus diulang dalam rangkaian tes dan evaluasi yang hanya mengejar angka-angka kelulusan siswa sebagai penanda berakhirnya rangkaian proses belajar-mengajar.
Alhasil, karena disorientasi dalam mengajar, bisa dikatakan bahwa perasaan bosan menerpa hampir seluruh guru di sekolah. Penyebabnya selalu tidak tunggal, tetapi banyak faktor. Namun, jika diurut secara saksama faktor dominan apa yang menyebabkan munculnya perasaan bosan para guru, ternyata ialah minimnya imajinasi kreatif dalam melakukan proses belajar-mengajar. Minimnya imajinasi kreatif lebih banyak disebabkan ketergantungan yang tinggi kepada bahan ajar dan instruksi-instruksi tiada henti dari para kepala sekolah, pengawas, dan dinas terkait tentang kurikulum.
Bukti dan bentuk kebosanan lainnya saya dapati dari ratusan kali workshop tentang kurikulum 2013. Ketika mengajak para guru untuk mengubah mindset atau cara pandang tentang mengapa kurikulum harus berubah, saya tak menggunakan lembar demi lembar slide Rhenald Kasali yang disediakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Padahal, substansi perubahan paradigma tentang kurikulum dalam rangkaian proses pelatihan kurikulum sangatlah penting. Karena itu, menurut hemat saya, daripada memberikan mereka paradigma perubahan dari tuntutan global yang belum tentu cocok dengan gaya berpikir guru, lebih baik mengajak mereka untuk melihat persoalan kreativitas dari sisi mereka sendiri.

Imajinasi visual

Dalam setiap workshop, saya selalu meminta para guru untuk membuat imajinasi visual tentang kurikulum. Imajinasi visual didasarkan pada teori belajar berbasis otak (brainbased learning theories) yang kurang lebih menyebutkan setiap kata yang diucapkan atau dibaca seseorang sesungguhnya ditangkap otak kita secara visual atau dalam bentuk gambar. Misal, ketika kata ‘gajah’ saya sebut, imajinasi para guru tentang gajah amatlah beragam. Ada yang menangkap gambar belalainya, gading, kaki dan badannya yang besar, dan kupingnya yang lebar. Tak pernah sekali pun otak kita menangkap kata gajah dalam bentuk rangkaian huruf g, a, j, a, dan h.
Dengan berangkat dari teori itu, saya minta para guru untuk membuat definisi kurikulum secara visual. Hasilnya? Hampir semua guru selalu memandang negatif soal kurikulum karena imajinasi visual mereka tentang kurikulum tak jauh dari gambar dokumen (lesson plan), buku, pengawas, siswa, sekolah, uang, pensil, wajah orang dinas pendidikan, wajah menteri, benang kusut, dan sebagainya. Jika ditanya lebih lanjut, hampir semua mengakui imajinasi mereka soal kurikulum sangatlah negatif, bahkan cenderung traumatik. Hal itu disebabkan selama ini tuntutan soal kurikulum lebih banyak bersifat formal sehingga menghambat kreativitas guru dalam melakukan proses belajar-mengajar yang kreatif dan menyenangkan.
Padahal, sejatinya kreativitas ialah anugerah Tuhan yang hampir pasti dimiliki setiap manusia. Hanya, kreativitas dapat memiliki banyak makna, bergantung pada aspek dan bidang apa yang akan digeluti seseorang. Sebagai bagian dari proses bekerja pikiran atau inteligensia manusia, kreativitas kerap jarang bisa dipahami secara langsung, bahkan oleh seseorang yang disebut kreatif sekalipun. Karena itu, benarlah jika kreativitas didefinisikan sebagai proses mental dan sosial yang melibatkan daya kerja otak yang berusaha menggabungkan konsep-konsep yang ada dengan ide-ide tertentu yang belum terlihat wujudnya.
Berpikir kreatif merupakan proses mental yang melibatkan pemunculan gagasan atau anggitan (concept) baru, atau hubungan baru antara gagasan dan anggitan yang sudah ada. Dalam bahasa Guilford (dalam Munandar, 2009) kemampuan itu disebut berpikir divergen atau pemikiran menjajaki bermacam-macam alternatif jawaban terhadap suatu persoalan yang sama benarnya. Perkembangan kemampuan berpikir kreatif dipengaruhi dua faktor utama; keturunan dan lingkungan. Jika melihat pengalaman itu, jelas hambatan kreativitas guru lebih banyak disebabkan pengaruh lingkungan dan sistem pendidikan yang melihat kurikulum secara tidak kreatif.

Faktor lingkungan

Padahal, sebetulnya semua orang diciptakan kreatif. Lingkunganlah yang membuat potensi kreatif itu tidak dapat berkembang dengan optimal. Di antara kendala mental yang menghambat perkembangan kreativitas antara lain ialah kesulitan untuk mencari jawaban yang benar (trying to find the ‘right’ answer).
Salah satu dampak buruk dari pendidikan formal ialah fokusnya pada jawaban benar untuk pertanyaan atau masalah tertentu. Meskipun pendekatan itu membantu kita melakukan fungsi-fungsi sosial dalam masyarakat, cara tersebut berakibat buruk bagi pengembangan pemikiran kreatif individu. Orang kemudian banyak mengalami kesulitan ketika harus menyelesaikan permasalahan kehidupan nyata yang tidak hitam-putih, ambigu.
Karena faktor lingkungan, para guru cenderung `patuh' secara membabi buta terhadap aturan soal kurikulum, misalnya, sehingga mengikuti aturan (following rules) menjadi jalan satu-satunya untuk selamat dari penilaian para pengawas.
Kebiasaan itu tentu saja membunuh kreativitas guru karena mereka tak berani menabrak aturan. Padahal, terkadang aturan harus dipecah, ditabrak, untuk berinovasi. Tentu saja hal itu berisiko. Jadi, apa yang harus kita lakukan? Melanggar aturan mental. Cukup dengan bertanya, “Apa aturan saat ini yang menghentikan saya untuk menjadi lebih produktif?“ Kita selalu dapat menantang aturan tertentu tanpa harus melanggarnya. Sering kali, selama proses kreatif ini, kita akan menemukan bahwa banyak hal inovatif dapat dicapai jika aturan dirusak atau diubah. Persoalannya, nyaris tak ada keberanian dari para guru untuk melawan aturan secara kreatif.
* Penulis adalah Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
Sumber: MEDIA INDONESIA,  06 Januari 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar