Pages

Senin, 20 Januari 2014

Kampus Swasta Berperan Penting Cerdaskan Bangsa




Perguruan tinggi swasta (PTS) memiliki peranan penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa melalui penyediaan pendidikan tinggi bagi anak-anak bangsa. Pasalnya, sebagian besar perguruan tinggi di tanah air berstatus swasta.

“Dari 3.151 perguruan tinggi yang ada di Indonesia, sebanyak 3.068 atau 97% merupakan kampus swasta, sedangkan kampus negeri hanya berjumlah 83 atau 3%,” kata Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Edy Suandi Hamid MEc dalam audiensi APTISI dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI di Gedung Nusantara DPR RI, Senin (20/1/2013).

Edy mengemukakan jumlah mahasiswa yang ditampung oleh PTS sebanyak 2.298.830 atau sebesar 72%, sedangkan PTN hanya dapat menampung sebanyak 907.323 (20%). Adapun jumlah tenaga pengajar atau dosen PTS mencapai 122.092 orang atau 50% dari jumlah keseluruhan dosen di Indonesia, 273.734 orang.

Menurut dia otonomi yang dimiliki kampus semakin melemah karena kebijakan pendidikan tinggi yang cenderung sepihak dan otoriter. Peraturan, kebijakan dan tindakan pemerintah dalam mengatur bidang pendidikan tinggi pun semakin kehilangan ruh pendidikannya dan telah menjelma menjadi ruh penguasa.

"Keberadaan PTS sering diposisikan sebagai pihak yang perlu dicurigai dan, oleh karenanya, perlu diawasi, jika perlu dilakukan tindakan sepihak yang tidak mendidik," jelas Edy.

Edy juga mengatakan APTISI menyuarakan perlunya pembentukan Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM) melalui draft peraturan menteri, dengan catatan bahwa peraturan tersebut akan dijadikan pedoman umum untuk pelaksanaan akreditasi dan reakreditasi baik untuk PTN maupun PTS tanpa diskriminasi. Selain itu, pemerintah hendaknya tidak melepaskan tanggung jawab untuk tetap membiayai akreditasi.

“APTISI juga mendesak pemerintah agar segera menerapkan semua regulasi yang diamanahkan oleh Undang-undang Pendidikan Tinggi melalui penyusunan sejumlah PP dan Permen,” ujarnya.[as]

Sumber: Metrotvnews

Jumat, 17 Januari 2014

RUU PT dan Upaya Menaikkan Angka Partisipasi




Persoalan Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi (RUU PT) ternyata bukan hanya soal otonomi yang kini ramai dibicarakan. Ada hal lain yang juga perlu disampaikan dan amat strategis untuk masa depan perjalanan sebuah perguruan tinggi.

Apa itu? Yakni berkait dengan upaya pemerintah dalam menaikkan angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi, dan harmonisasi pendidikan vokasional dan akademik. Dua hal ini tentu bukan hanya dalam pencapaian APK, tapi juga berkait dengan kesiapan dan peran perguruan tinggi dalam menyiapkan sumber daya manusia untuk mengisi pembangunan.

Itu sebabnya dalam RUU PT ditegaskan tentang fungsi perguruan tinggi sebagai wadah pendidikan calon pemimpin, pusat pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan humaniora,serta sebagai pusat pengembangan peradaban bangsa (Pasal 25 ayat 1). Tulisan berikut akan mengemukakan beberapa hal strategis dari RUU PT selain persoalan otonomi.

Perguruan Tinggi Komunitas
Satu terobosan baru dalam RUU PT adalah akan diberlakukannya pendidikan perguruan tinggi komunitas atau community college (CC).Program ini diharapkan dapat meningkatkan bukan hanya APK PT, melainkan juga menjembatani kekurangsiapan lulusan pendidikan memasuki pasar kerja. Pendirian program CC bukan tanpa alasan. Beberapa studi menunjukkan nilai positif dari program CC. Sekadar menyebutkan, studi yang dilakukan oleh Bernanke, B (2007).

Dalam “Speech At the U S Chamber Education and Workforce Summit”, CC memberikan kontribusi nyata terhadap perluasan kesempatan memperoleh pendidikan tinggi karena biayanya murah,jadwal yang lentur, lokasi yang dekat, karena tersebar merata di seluruh negara. Di AS hampir 50% mahasiswa mengikuti pendidikan tinggi melalui CC.Community college sangat membantu pemenuhan kebutuhan pelatihan khusus, pendidikan perbaikan (remedial), dan pendidikan orang dewasa.

Lebih dari itu, melalui CC kebutuhan peningkatan APK dalam jumlah besar, dalam waktu cepat, membutuhkan model-model baru pengelolaan pendidikan tinggi dan menengah, yang antara lain dengan membangun CC minimal di tiap kota/ibu kota kabupaten. Melalui CC, biaya pendidikan tinggi akan dapat ditekan karena peserta didik tidak harus pergi terlalu jauh untuk bisa kuliah. Selain soal CC, dari sudut pandang pemerintah, sedikitnya ada dua hal penting lain yang menjadi dasar dalam penyusunan RUU PT.
Pertama,semangat otonomi yang berlandaskan pada amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK),31 Maret 2010, yang tidak boleh terjadi penyeragaman bentuk lembaga pendidikan; pemerintah tidak boleh lepas tanggung jawab keuangan untuk penyelenggaraan pendidikan; dan tidak terjadi liberalisasi dan komersialisasi pendidikan, sebagaimana terdapat dalam UU BHP yang telah dibatalkan MK.
Ini menjadi amat penting, belajar pada UU BHP,RUU PT tidak boleh terulang lagi, setelah diundangkan kemudian dibatalkan MK. Kedua, berkait dengan kesetaraan. Tidak boleh lagi terjadi diskriminasi terhadap jenis pendidikan tinggi yang ada. Selama ini di jalur politeknik diperlakukan diskriminatif berkait dengan jenjang karier dan jabatan akademik. Itu sebabnya, dalam RUU PT, dimungkinkannya jalur politeknik untuk membuka jenjang S- 2 dan S-3 terapan,serta jabatan akademik sebagai guru besar terapan. Sebelumnya jalur politeknik hanya membatasi jabatan akademik tertinggi sampai golongan IVC (lektor kepala).
Soal Otonomi?
Berkait dengan otonomi, ada dua hal. Pertama, otonomi akademik, kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan kebebasan ilmiah.Hal ini sejatinya sudah melekat dalam pengelolaan pendidikan tinggi. Itu sebabnya,kekhawatiran terhadap RUU PT yang akan mengooptasi perguruan tinggi, terkikisnya daya kritis perguruan tinggi, independensinya akan tergadaikan, adalah sesuatu yang tidak akan terjadi.
Nilai kebebasan akademik sejatinya telah melekat dalam perguruan tinggi, bahkan dalam lingkup individu-individu di perguruan tinggi, sebagai seorang ilmuwan dan cendekiawan. Otonomi perguruan tinggi dalam makna kebebasan akademik masih tetap luas.Apalagi dalam penjelasan RUU PT ditambahkan bahwa penyelenggaraan perguruan tinggi negeri harus bebas dari pengaruh politik praktis.
Bagaimana dengan masih adanya pasal yang menyatakan kurikulum, program studi,dan penelitian akan diatur melalui peraturan menteri? Sesungguhnya hal itu bagian lain dari upaya pemerintah untuk melindungi masyarakat. Bukankah saat ini banyak perguruan tinggi yang membuka program studi yang tidak jelas dan tidak terakreditasi. Jika ini dibiarkan, bukankah masyarakat yang justru dirugikan? Kedua, otonomi pengelolaan keuangan.
Para pengelola perguruan tinggi berharap otonomi pengelolaan keuangan dapat diberikan seluas-luasnya sehingga mereka bisa leluasa menentukan dan mengatur anggaran perguruan tinggi. Tapi, sebagian masyarakat mengkhawatirkan, jika otonomi pengelolaan keuangan diberikan seluas-luasnya pada tiap perguruan tinggi, bukan mustahil penentuan biaya akan dilakukan seenaknya.
Kekhawatiran ini amat beralasan karena ketika diberlakukannya UU PTBHMN (Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara), yang kemudian dibatalkan oleh MK, telah terbukti bahwa perguruan tinggi yang ber-BHMN terkesan seenaknya dalam menentukan besaran biaya pendidikan. Itu sebabnya dalam pengelolaan otonomi keuangan, khususnya bagi PTN,RUU ini telah menyiapkan tiga pilihan otonomi yang akan diberikan.
Pertama,PTN yang difungsikan sebagai satuan kerja (satker) yang menjalankan pola pengelola keuangan negara sebagaimana diatur dalam PP 66 Tahun 2010 dan UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU 20 Tahun 1997 tentang PNBP (PPK-Negara). Kedua, sebagai satuan kerja (satker) yang menjalankan pola pengelola keuangan badan layanan umum (BLU) juga telah diatur dalam PP 66 Tahun 2010 danUUNo1 Tahun2004tentang Perbendaharaan Negara dan UU 20 Tahun 1997 tentang PNBP (PPK-BLU).
Ketiga, perguruan tinggi negeri otonomi penuh sebagai badan hukum (PTN BH). Pola pengelolaan otonomi dan transisi dari PPK-Negara ke PPK-BLU dan dari PPK-BLU ke Badan Hukum (PTN BH) akan diatur dalam peraturan pemerintah. Peraturan pemerintah ini penting karena sebelum pemberian hak otonomi penuh dalam pengelolaan keuangan harus dapat dipastikan PTN yang bersangkutan telah mendapatkan penguatan dalam tata kelola keuangan; mampu melakukan pemberdayaan terhadap sumber daya yang dimiliki; dan dapat melakukan sinergitas sehingga tidak mementingkan diri sendiri.
Tiga hal ini penting dimiliki sebelum sebuah PTN mendapatkan hak untuk menjadi PTN BH. Tapi, apa pun diskusi yang berkembangbaikdimasyarakat maupun di lembaga pembuat undang-undang, kita berharap kehadiran UU PT akan membawa manfaat baik bagi masyarakat, dunia usaha, pengelola perguruan tinggi, pemerintah maupun dosen.Semoga.
Sukemi
Staf Khusus Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Komunikasi Media
Sumber: Seputar Indonesia, 12 Juli 2012

Ikhtiar PTS Tampil Kian Seksi



Hasil ujian Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNM PTN) baru saja diumumkan. Menurut panitia SNM PTN, 618.804 peserta memperebutkan 106.363 kursi dari 61 PTN di Indonesia. Artinya, hanya sekitar 17 persen yang dapat ditampung.
Jumlah lulusan SMA tahun ini 1.517.125 siswa. Padahal, selain lulusan 2012, peserta SNM PTN juga berasal dari lulusan SMA hingga tiga tahun sebelumnya. Dapat dikatakan bahwa lebih dari 60 persen lulusan SMA tidak melanjutkan ke PTN.

Ke mana mereka? Ke mana juga peserta SNM PTN yang dinyatakan tidak lulus hari ini? Seberapa signifikankah perguruan tinggi swasta (PTS) menjadi alternatif ? Ada beberapa sebab hipotetis mengapa tidak semua lulusan SMA mengikuti SNM PTN. Yakni, alasan ketidakmampuan biaya, langsung bekerja, mengikuti kursus pendek, mempersiapkan ikut SNM PTN tahun depan, atau langsung ke PTS. Kenapa ke PTS? Apakah karena tidak percaya diri lolos SNM PTN ataukah melihat PTS lebih menarik daripada PTN.

Bagi mereka yang PTN minded tetapi cukup berduit, tidak lulus SNM PTN tak jadi masalah. Mereka bisa mencoba masuk lewat pintu jalur mandiri. Sebaliknya, yang kurang mampu mungkin harus menunggu tes tahun depan sambil mempersiapkan diri lebih baik lagi. Kalau urusannya kualitas, sebenarnya PTS sudah banyak berbenah.

Persaingan Biaya
Zaman telah berubah. PTS harus dilihat secara positif sebagai partisipasi masyarakat memenuhi kebutuhan pendidikan tinggi yang belum bisa dipenuhi negara. PTS sudah banyak mengejar ketertinggalan dan berupaya tampil “seksi” agar memikat calon mahasiswa. Dari sisi biaya, belum tentu PTS lebih mahal dan dari sisi kualitas, belum tentu lebih rendah daripada PTN. Banyak fakta yang mendukung.

Soal biaya, misalnya. Kini tak jarang tarif di PTN yang sudah disubsidi oleh negara lebih mahal daripada biaya di PTS. Penelusuran Radar Malang (Jawa Pos Group) edisi Jumat (26/6) menemukan biaya masuk jalur mandiri di Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya (UB) ternyata lebih tinggi daripada di dua PTS tetangganya. Di UB, dana masuk sebesar Rp 155 juta, sedangkan di Unisma Rp 135 juta dan UMM Rp 110 juta. Tren yang sama juga terjadi pada jurusan-jurusan lain. Kreativitas dan keberhasilan PTS dalam menggali dana alternatif di luar dana dari mahasiswa, seperti mengembangkan business center, memungkinkan mereka dapat menutupi biaya operasional universitasnya.

Memang, masih banyak gangguan citra PTS. Perilaku beberapa PTS yang menyelenggarakan pendidikan seenaknya, penjual ijazah, serta kinerja kampus pas-pasan bisa turut mendukung kesan itu. Tapi, tentu tak bisa digeneralisasi. Sangat banyak PTS yang serius mengejar prestasi.
Di era keterbukaan seperti saat ini, tak ada alasan untuk tidak mengetahui jeroan PTN maupun PTS. Secara transparan, publik bisa melihat peringkat PT di Indonesia melalui berbagai media. Banyak lembaga baik, termasuk dari luar negeri, yang memeringkat PT Indonesia.

Untuk melihat akreditasi institusi ataupun akreditasi program studi, kita bisa mengintip dari Badan Akreditasi Nasional (BAN) PT. Dirjen Dikti juga pernah membuat rilis “50 Promising Universities” yang tidak membedakan PTN maupun PTS. Beberapa media, seperti Tempo danGlobe Asia, secara berkala memuat peringkat nasional PT dan tak sedikit peringkat PTS mengalahkan PTN.
Di sisi lain sejak 2010, lembaga pemeringkatan yang berpusat di London, QS Star, mulai merilis perolehan bintang untuk PT di Indonesia. Dari rilis itu diketahui tak sedikit PTS yang meraih predikat “bintang dua“, sementara banyak PTN yang belum berbintang. Pemberian predikat itu tidak main-main karena penilaiannya diambil dari lima indikator, yakni kesuksesan lulusan, kualitas pengajaran, infrastruktur, internasionalisasi, dan “daya tempur” (engagement).
Di bidang keseriusan mengelola website universitas, saat ini populer dua sumber, yakniWebometrics yang berpusat di Spanyol dan 4icu (4 International College and Universities) yang berpusat di Australia. Keduanya mengumumkan capaian PT di Indonesia, termasuk dibandingkan PT di luar negeri. Sekali lagi, dalam penilaian orang asing itu, banyak PTS yang tak kalah peringkatnya dari PTN.

Bersaing Keunggulan
Di luar itu semua, upaya Kopertis Wilayah VII Jawa Timur yang rutin memberikan penilaian kepada PTS setiap tahun sejak 2008 layak memperoleh apresiasi. Secara serius, Kopertis menilai kampus-kampus swasta di Jawa Timur dan memberikan Anugerah Kampus Unggul (AKU) yang skornya paling baik. Penilaiannya didasarkan pada tiga aspek: tata kelola dan kelembagaan; penelitian dan pengabdian masyarakat; serta pembinaan kemahasiswaan.
Aspek tata kelola dan kelembagaan didasarkan, antara lain, pada keandalan pelayanan administrasi, status akreditasi, dan yang tak kalah penting sebagai kampus swasta adalah keharmonisan hubungan antara pengelola PT dengan yayasan. Aspek penelitian dan pengabdian masyarakat dilihat dari produktivitas PT melaksanakan dua butir dari Tri Dharma PT itu. Aspek kemahasiswaan dinilai dari cara PT mengelola dinamisasi mahasiswa, baik dari kegiatan intra maupun ekstra kampus, dan perolehan prestasi mereka di kancah lokal, nasional, maupun internasional. Hasil AKU rutin dipublikasikan, termasuk di internet.

Perlu mengubah mindset untuk mempertimbangkan PTS sebagai pilihan utama. Di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, kampus-kampus hebat justru merupakan universitas swasta. Sebut saja, Harvard University, Yale University, University of Chicago, Columbia University, dan Stanford University. Mereka tergolong sebagai private universities yang sangat disegani di dunia.


Nasrullah
Dosen komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)    
Sumber: Jawa Pos, 11 Juli 2012

Fajar Baru Pendidikan Nasional



Setiap 2 Mei kita selalu memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Itu menunjukkan bangsa ini menganggap pendidikan merupakan bagian penting dari kehidupan anak negeri sehingga layak diperingati dengan memunculkan hari istimewa. Apa pesan penting dari perayaan (paling banyak dengan upacara) yang dilakukan setiap tahun oleh institusi pendidikan, dari kementerian sampai sekolah tersebut? Apakah itu sebatas seremonial belaka?

Momentum yang diisbatkan pada tanggal kelahiran Soewardi Soerjaningrat yang populer dengan nama Ki Hadjar Dewantara tersebut memiliki pesan yang layak untuk dijadikan landasan filosofis, etis, maupun praksis dalam kebijakan nasional pendidikan kita. Ki Hadjar Dewantara yang mendirikan Taman Siswa di Yogyakarta pada 24 Juli 1924 sebagai modus perjuangan layak dijadikan teladan.

Pendirian Taman Siswa sebelumnya didahului aktivitas Soewardi di bidang pergerakan dan politik. Pada 3 Juli 1913, dia menulis Alsi keens Nederlander was (Andaikata aku seorang Belanda) yang dimuat di surat kabar De Expres, Bandung. Soewardi menyatakan, “Andaikata aku seorang Belanda, aku tidak akan merayakan perayaan itu di dalam negeri yang sedang kami jajah. Pertama, kami harus memberikan kemerdekaan kepada rakyat yang kami jajah, kemudian baru memperingati kemerdekaan kami sendiri…” (Soewito, 1991). Tulisan tersebut merupakan jeritan Soewardi ketika melihat kolonialisme bercokol di tanah Hindia Belanda yang menindas orang-orang pribumi.

Soewardi juga menulis Eenvoorallen, maar ookallenvooreen (Satu untuk semua, semua untuk satu), yang pada akhir tulisan ia menulis, “Kita harus mempunyai kekuatan dan kepribadian dalam meng hadapi perjuangan nasional ini. Jika tidak, maka selamanya saudara-saudara akan tetap menjadi budak! Lepaskan diri dari perbudakan ini” (Soewito, 1991)! Bersama Tjipto Mangoenkoesomo dan Douwes Dekker, ia mendirikan Indisjhe Partij yang dilarang pemerintah Belanda karena banyak mengkritik kebijakan pemerintah yang tak berpihak kepada rakyat pribumi.
Dari perjuangan politik seperti itulah Soewardi memilih pendidikan sebagai jalan perjuangan.
Spirit perjuangan Ki Hadjar dibidang pendidikan memiliki misi yang tetap relevan kendati apa yang dilawan kini berbeda wajah.

Semua tujuan pendidikan yang dirumuskan Ki Hadjar dapat disimpulkan pada dua pokok. Pertama, semangat kemerdekaan yang diwujudkan pada semangat antikolonialisme, antiperbudakan, antipenindasan, dan antiimperialisme. Kedua, dengan semangat tersebut, rumusan utamanya ialah kemerdekaan, yang dimulai dari kemerdekaan bangsa dari penjajah, lalu kemerdekaan diri yang direngkuh dan diperjuangkan melalui praksis pendidikan.
Problem pendidikan nasional Harus diakui, pendidikan nasional kita kini masih sarat dengan masalah. Ujian nasional (UN) yang baru saja dijalani para siswa tentu tidak lepas dari berbagai silang sengkarut yang mengiringi pelaksanaan UN dan pendidikan kita pada umumnya. Pilihan UN yang tetap dijalankan, kendati banyak pakar pendidikan pesimistis itu tidak bisa dijadikan tolok ukur (evaluasi) apakah siswa telah berhasil merampungkan suatu jenjang pendidikan, merupakan autokritik agar pemerintah tidak menutup mata bahwa kebijakan harus terus dievaluasi dan diperbaiki.
Di beberapa kabupaten, seperti di Lamongan, Jawa Timur, ditemui pelaksanaan UN menggunakan kamera tersembunyi (CCTV) untuk meminimalkan peluang siswa menyontek.
CCTV itu sejatinya menyimpan paradoks dan ironi; pendidikan gagal menanamkan sikap jujur dan percaya diri kepada siswa sehingga mereka harus menjadi pihak yang diawasi.
Kedua, masih terdapat kelas-kelas sekolah, mulai berstandar nasional (SSN) hingga internasional (SBI), yang banyak dikecam berbagai kalangan yang peduli pendidikan untuk semua (education for all). Kapitalisme pendidikan bercokol dalam moda sekolah seperti itu sehingga peluang bagi anak dari keluarga miskin untuk mendapatkan pendidikan berkualitas semakin kecil.
Ketiga, pendidikan belum bisa sepenuhnya lepas dari sekolah sebagai habitus utama pendidikan. Ketika kita bicara pendidikan, segera teringat sekolah yang disamakan dengan pendidikan. Muncul semacam hujatan ketika menemukan orang yang nakal tak bermoral akan dikatakan sebagai wong sing gak tau mangan sekolahan (orang yang tak pernah mengenyam sekolah).
Keempat, kurikulum yang selama ini menjadi acuan pendidikan perlu dikoreksi ulang.
Betul bahwa kurikulum merupakan acuan utama untuk menjalankan pengajaran sistematis.
Namun perlu diingat, kurikulum di sekolah kadang berjalan terlalu lamban. Materi pelajaran yang bisa diselesaikan dalam waktu singkat itu dilaksanakan dalam beberapa pertemuan selama satu semester.
Kelima, anggaran pendidikan masih jauh panggang dari api. Meski nilainya untuk 2012 ini meningkat, itu juga dipakai untuk gaji tenaga pendidik. Artinya, alokasi anggaran pendidikan untuk siswa dan operasional pendidikan lebih sedikit, hanya sekitar 30%.
Program pemenuhan sarana prasarana penunjang pelak sanaan KBM (kegiatan belajar mengajar) menjadi terhambat, padahal itu penting untuk meningkatkan kualitas anak didik (meski bukan faktor utama).
Keenam, munculnya sekolah-sekolah swasta yang berafiliasi dengan kelompok agama dengan ideologi tertentu dapat menyebabkan bangunan keindonesiaan merapuh. Cukup banyak lembaga pendidikan yang justru tidak percaya dengan Pancasila, nasionalisme, NKRI, dan nilai-nilai kebangsaan lainnya. Keberbedaan yang mereka hadirkan tidak dilandasi semangat saling meng hormati dan bersama-sama membangun persatuan bangsa.
Ketujuh, jamak dikeluhkan rendahnya minat baca siswa, meski itu juga cerminan realitas masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Buku-buku hanya mangkrak dan berdebu di perpustakaan. Siswa hanya membaca buku paket pelajaran dan LKS (lembar kerja siswa), belum berminat untuk membaca buku buku lain. Belum banyak sekolah melakukan langkah progresif untuk mendorong minat baca siswa. Alih-alih dijadikan p pertaruhan kredibilitas lembbaga pendidikan, buku justru dijadikan lahan bisnis oknum sekolahan. Sekolah telah gagal membentuk budaya membaca siswa yang semestinya menjadi bagian tak terpisahkan dari proses pendidikan di sekolah.
Pertanyaan mendasar; jika sekolah yang digadang-gadang sebagai habitat/komunitas utama pendidikan justru gagal mendidik siswa untuk berpendidikan, dari mana lagi siswa belajar mengenai nilai-nilai kehidupan? Siswa berada di sekolah hanya sekitar 6-7 jam per hari, selebihnya berada di luar dengan segala nilai-nilai yang saling menegasi, sedangkan sekolah sendiri tidak steril dari nilai-nilai yang berkembang di luar.
Fajar baru yang penting untuk diingat semua pihak ialah sekolah bukan satu-satunya “lembaga pendidikan”. Ivan Illich membedakan secara tegas antara sekolah dan pendidikan, bahkan seperti bumi dan langit. Sekolah membelenggu kebebasan siswa, padahal pendidikan pada hakikatnya bertujuan membebaskan siswa dengan seluruh potensi kreativitas yang dimilikinya. Meringkus pendidikan ke dalam paradigma sekolahan akan dapat memunculkan ketergantungan pada sekolah, sedangkan peran institusi sosial lainnya terabaikan.
Telah cukup lama sekolah seperti ruang eksklusif yang ditandai dengan gedung dan pagar yang melingkari sekolah. Sekolah menjadi dunia lain, yang terlepas dari realitas masyarakat di luar sekolah. Di sinilah sekolah menjadi “lembaga kebudayaan” yang “invalid” karena nilai-nilai kebudayaan di luar sekolah justru dikebiri bangunan sekolah dan kurikulum pendidikan.
Kondisi itu merupakan titik kulminasi dari rentang panjang pendidikan nasional yang masih terdikte oleh kepentingan asing (kapitalisme global) yang semakin merongrong sumber daya manusia (kebudayaan) anak negeri dan sumber daya alam Indonesia.
Dengan dikembalikannya kebudayaan ke pangkuan Kementerian Pendidikan, kita sepatutnya berharap Kemendikbud dapat membawa fajar baru pendidikan nasional yang lebih baik. Asalkan, sekolah dapat menangkap itu sebagai pengejawantahan kebudayaan dalam praksis pendidikan dan belajar mengajar di sekolah, bukan pada aspek material kebudayaan yang indikasinya ialah aspek kognitif; siswa mampu menyebutkan tarian, lagu daerah, alat musik tradisional, dan anasir-anasir kedaerahan yang dimiliki setiap provinsi.
Kita berharap respons sekolah ketika menangkap instruksi pemerintah tidak dengan cara yang konyol; sekadar memasukkan frasa kebudayaan dalam RPP, silabus, dan acuan kurikulum yang lain. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan lebih elok jika tak melulu mengurusi masalah persekolahan, tapi juga institusi sosial lain, semisal organisasi keagamaan, pers dengan media massanya, juga organisasi masyarakat yang sering bersinggungan dengan masalah sosial, karena turut mengonstruksi kebudayaan masyarakat.
Sekolah mesti menjadi lembaga kebudayaan tempat bersemainya manusia-manusia berbudaya, berkarakter, nasionalis, dan toleran. Semangat Ki Hadjar dapat dijadikan pengingat kita sebagai insan Indonesia yang masih percaya pendidikan yang berkebudayaan merupakan jalan penyelamatan bangsa dari segala krisis kemanusiaan.

Junaidi Abdul Munif
Direktur el-Wahid Center Universitas Wahid Hasyim Semarang
Sumber: Media Indonesia, 9 Juli 2012

Kamis, 16 Januari 2014

Kemdikbud Godok Skema Peningkatan Tunjangan Dosen



 

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tengah menyiapkan upaya peningkatan kesejahteraan skema tunjangan profesi. Hal itu dilakukan sebagai bagian dari komitmen pemerintah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan guru, dosen dan tenaga kependidikan, sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen  pada Pasal 53, serta Peraturan Pemerintah  No. 41/2009 tentang Tunjangan Profesi Guru dan Dosen, Tunjangan Khusus Guru dan Dosen, serta Tunjangan Kehormatan Professor.  

“Dirjen Dikti bersama para pemimpin perguruan tinggi negeri tengah menggodok upaya peningkatan kesejahteraan dosen melalui skema tunjangan profesi,” kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh di Jakarta, Rabu (15/1/2014).

Nuh menjelaskan, selama ini sebagaimana tertuang dalam UU No. 14/2005 dan PP No. 41/2009  tunjangan profesi dosen adalah setara dengan satu kali gaji. Kini sedang digodok formula tunjangan profesi yang dapat berimplikasi pada besarnya tunjangan profesi dosen, bisa lebih dari satu kali gaji pokok, bergantung pada kinerja masing-masing dosen.  

“Ke depan, bagi dosen yang telah memenuhi kriteria-kriteria tertentu, besaran tunjangan tidak mesti satu kali gaji pokok, bisa lebih, sesuai dengan prestasi dan kinerjanya,” katanya. 

Skema dan kriteria pemberian tunjangan tersebut kini masih dibahas oleh para pemimpin perguruan tinggi negeri bersama Dirjen Dikti. Menurut Nuh dengan model pendekatan semacam ini, maka dosen akan semakin dihargai atas prestasinya.

Dalam upaya peningkatan kesejahteraan guru dan dosen, menurut Mendikbud, pihaknya juga tetap memperhatikan fakta bahwa untuk posisi anggaran Kemdikbud saat ini yang mencapai sekitar Rp 360 triliun lebih, sebesar 70 persen adalah untuk gaji pegawai, termasuk tunjangan. 

“Bisa dibayangkan jika upaya dalam memberikan kesejahteraan dalam bentuk pemberian tunjangan diperlakukan sama, tanpa pertimbangan-pertimbangan, maka anggaran pendidikan bisa habis hanya untuk gaji dan tunjangan,” tuturnya.

Nuh mempersilahkan langkah sebagian dosen yang mempermasalahkan Peraturan Presiden No. 88/2013 tentang Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan Kemdikbud melalui jalur hukum. “Silahkan karena bagian dari hak setiap warga negara,” ujarnya.[as]

Sumber: Kemdikbud.go.id

Guru Multikultural-Rahmatan Lil ‘Alamin; Agen Perubahan Generasi Muda



Perkembangan dunia, sebagaimana yang diramalkan AlfinTofler memasuki  era global sudah terasa dampaknya. Segala informasi dapat terakses dengan cepat, peristiwa disuatu tempat yang jauh bukan halangan untuk diketahui. Cukup dengan “klik” seketika itu dapat dibaca bahkan dapat ditonton oleh siapapun.

Laju cepat perubahan tersebut memberikan andil besar  informasi yang masuk dalam aspek kehidupan sosial, budaya, tata nilai. Tentunya dapat memberikan dampak positif dan negatif. Untuk itu, pendidikan dan peran  guru seberapa siap membangun dasar kepribadian sebagai bangsa dan mempertahankan nilai-nilai budaya kepada generasi muda. Seperti membangun rasa kebersamaam, nasionalisme, cinta tanah air, kesadaran menerima keberagaman  sebagai bangsa yang plural serta multikultural.

Dari catatan sederhana di atas, sangat tidak berlebihan jika dunia pendidikan, dapat segera berbenah diri. Pembenahan yang dimaksud adalah merevitalisasi pendidikan yang memberikan keseimbangan pada aspek intelektual dan nilai (baca: karakter). Termasuk diantara pembenahan itu adalah membangun kompetensi  guru “multi-profesional”.

Mengapa harus guru? Karena guru mempunyai tempat strategis, guru adalah bagian dari agen pembaharu dan investasi masa depan bangsa. Guru menjadi perentas dan agen terdepan untuk bangsa ini. Dapat mendorong perubahan lebih baik. Khusus dewasa ini, permasalahan karakter serta kepribadian bangsa, menjadi sesuatu yang serius. Untuk itu perlu  “di up grade”.
Permasalahan yang cukup serius itu adalah lemahnya rasa nasionalisme, rasa kebersamaan dan rendahya sikap toleransi sebagai dampak sikap “anti multikultural”  serta reformasi tanpa arah . Yang menyebabkan tercerabutnya nilai-nilai yang selama ini menjadi bagian kehidupan berbangsa sehari-hari.

Fenomena itu dipertontonkan laiknya sebuah hiburan, begitu mudahnya anak – anak sekolah tawuran, mahasiswa yang nota bene kelompok intelektual hampir setiap minggu tawuran, hanya karena persoalan-persoalan sepele. Belum lagi konflik antar etnis, begitu mudah disulut oleh persoalan serta isu-isu sosial yang sangat tidak logis, seperti karena batas wilayah, tersinggung oleh etnis tertentu. Dan terakhir meledaknya “bom jihad”  dilakukan seseorang yang usinya terglong relatif muda dan masih berusia produktif. Dengan mengatasnamakan agama, begitu mudahnya mereka menjadikan ratusan nyawa masyarakat tak berdosa melayang.”Lebel agama” menjadi   alat pembenar dan mengerikan bagi manusia lainnya. Yang semestinya, agama menjadi alat pendamai, perengkuh rasa kasih diantara manusia.

Mungkinkah hal tersebut adalah tanda keruntuhan toleransi, yang kita bangun selama ini, atau karena kegagalan guru dalam mendidik serta menanamkan arti sebuah toleransi, pluralisme–keberagaman dalam kehidupan anak-anak di sekolah, sebagai generasi penerus bangsa yang beradab.
Semestinya semua tidak perlu terjadi, dan mereka harus dapat belajar hidup berdampingan dengan sesama anak negeri, berbeda suku, agama, ras

Guru Multikultural: Rahmatal lil ‘alaamin
Sekitar bulan Maret 2010, penulis berkunjung ke SMP Depena Surabaya, sebuah sekolah swasta. Ada kesan tersendiri saat pertama masuk di lingkungan sekolah tersebut. Betapa terkejut, ketika anak-anak etnis Tionghoa datang menyambut dengan santun, mengajak bersalaman kemudian mencium tangan dan berkata “apa ada yang bisa saya bantu pak”. Yang menjadi pertanyaan penulis, Sekolah yang berada di kota terbesar kedua di Indonesia “kok masih  bisa” melahirkan siswa-siswanya berkepribadian seperti ini. Kemudian saat berbincang, ada banyak hal yang menginspirasi, diantaranya  lingkungan belajar, menunjukkan keragaman kerhidupan bangsa Indonesia yang multikultural. Ini dimanifestasikan dengan  adanya empat tempat ibadah yang berbeda, siswa berasal dari Ambon, Jawa, kalimantan, Bali, termasuk etnis Tionghoa, dll. Mereka dapat hidup berdampingan satu dengan yang lain, bercanda, bermain dan belajar bersama. Tak ada olok-olok diantara mereka. Mereka bisa saling memahami, bahwa perbedaaan adalah suatu fakta yang harus diterima.
Sungguh suatu yang indah. Dibalik semua itu, terinyata tidak terlepas dari peran seorang guru. Karena semua guru memiliki pemahaman nilai–karakter yang sama. Mereka memilki sikap keteladanan, egaliter, kesabaran, dan jiwa toleransi diantara guru itu sendiri. Khususnya, mereka mampu menanamkan, memperlakukan, dan menebarkan nilai rasa aman, damai, kebersamaan, toleran, rasa hormat diantara para siswa peserta didik dan warga sekolah lainnya.
Derajad pendidikan yang demikian ini semestinya dapat dicapai oleh seorang guru kepada siswanya. Begitu pentingnya karakter, Mahatma Gandi pernah mengatakan “ kualitas karakter adalah satu-satunya faktor penentu derajad seseorang dan bangsa”. Dan membangun karakter  (charackter building) adalah menjadi keinginan semua orang, terutama para pendiri bangsa. Karakter yang baik lebih dari sekedar perkataan melainkan sebuah pilihan yang membawa kesuksesan. Ia bukan anugerah, melainkan perlu dibangunn sedikit demi sedikit, dengan pikiran, perkataan, perbuatan, keberanian, kerja keras, dan bahkan dibentuk dari kesulitan hidup, dikutip dari Maxwell , dalam bukunya “  The 21 Indiespensable Qualities of Leader (2011)”.

Bahkan dalam suatu kesempatan, Susilo Bambang Yudoyono (SBY) secara tersurat dalam pidatonya “ kedepan bangsa ini harus harus meningkatkan kemandirian, daya saing dan peradaban bangsa. Untuk itu pendidikan harus bertujuan mentransfer ilmu pengetahuan dan teknologi, serta membentuk nilai dan karakter bangsa yang unggul yang dicirikan dengan ulet, tangguh, saling menyayangi, menghormati, dan toleransi.
Pernyataan diatas dapat dimaknai bahwa dalam sebuah proses pendidikan, guru harus mampu “membumikan”  menghadirkan nilai karakter yang dimaksud. Diantaranya sikap toleransi, menghargai perbedaan dan menerima keberagaman. Jadi, guru  bukan semata-mata mentransfer kemampuan kuantitatif iptek pada siswa sebagai generasi muda.
Karena itu,  guru memiliki nilai   startegis dalam penanaman sebuah nilai, budaya pada sebuah proses pendidikan di dalam kelas. Mengingat di ruang kelas itu, seorang anak memperoleh pengalaman pertama, menerima sumbangan yang sangat berarti di dalam menumbuhkan kesadaran akan berbagai perbedaan. Melalui kegiatan-kegiatan kelas, guru dapat mengembangkan berbagai strategi pembelajaran yang mengedepakan nilai multikultural.

Untuk mencapai itu semua diperlukan guru yang memiliki nilai pribadi “multikultural–rahmatal lil ‘alamin” bagi semua. Guru yang dapat menjadi agen perubahan generasi muda agar lebih dapat memahami pentingnya sebuah toleransi di tengah keberagaman suku, agama, ras, serta budaya bangsa Indonesia.

Dalam bahasa kekinian, guru “multikultural—rahmatal lil ‘alamin” adalah guru yang mampu mempersonifikasikan diri sebagai peneduh, penyelesai,  serta penebar nilai-nilai pluralisme (keberagaman) kepada siswa sebagai generasi muda penerus bangsa. Pembiasaan sikap humanis, manusiawi, toleran dalam melaksanakan pembelajaran akan memberi makna tersendiri.
Mengajarkan sikap  toleran adanya perbedaan yang ada dalam kelas, yang disertai rasa kasih sayang, menghindari sikap arogan dan kekerasan dalam mendidik siswa. Tentu menjadi nilai lebih bagi siswa sebagai generasi muda bangsa. Mengingat pada tahap tertentu, guru menjadi “pemodelan”, kepantasan untuk dapat ditiru kepribadiannya oleh siswa.

Disamping itu, guru multikultural—rahmatan lil ‘alamin, dalam konteks lain, adalah guru yang mampu men-tarbiyahkan dirinya. Pemaknaan Tarbiyah itu antara lain. Pertama, taqorrub, bahwa seorang guru mampu menciptkan dalam pembelajarannya sebagai upaya pendekatan pada anak didik kepada Tuhan, kepada manusia, kepada keluarga, dan kepada semua ciptaanNya, melahirkan sikap bangga atas segala yang ada disekitarnya

Kedua, amanah, bertanggungjawab dan dapat dipercaya merupakan bagian penting untuk dapat diinternalisasikan guru kapada siswa sebagai generasi muda dalam pembelajaran. Contoh pribadi rosul yang begitu menghargai—menghormati perbedaan apapun, rasa homat-mengormati, kasih sayang dalam kehidupan sehari-hari. Dapat diterapkan di dalam dan di luar kelas.
Ketiga, rahmat, menumbuhkan keteladanan kasih dan sayang kepada siapapun tanpa memandang suku, agama, dan ras , baik di dalam kelas atau di luar kelas. Hal ini sebagai upaya pembiasaan budaya toleransi pada peserta didik. Karena sikap toleransi akan memberi ruang keberagaman, baik sebagai individu atau kelompok.
Disisi yang lain, guru multikultural—rahmatan lil ‘alamin, adalah guru yang mampu menumbuhkan semangat solidaritas dikalangan peserta didik (generasi muda) untuk bisa menerima dan mengakui adanya perbedaan-perbedaan. Bukan dimaksudkan untuk memperkuat identitas diri sendiri, melainkan berjuang untuk membangun kebersamaan.
Memahami itu semua, peran guru begitu strategis, sehingga tidak dapat dielakkan bahwa jiwa dan semangat guru “multikultural—rahmatan lil ‘alamin”, yang mampu diteladani sangat dibutuhkan. Apalagi dengan keadaan seperti sekarang ini, pupusnya keteladanan, hilangnya kepercayaan makin membuat semakin sulit bangkit dari keterpurukan sosial.
Apapun idealnya guru sebagai agen perubahan, ia tidak bermakna apa-apa, manakala semua tidak ada keteladanan. Karena keteladanan dalam pendidikan merupakan metode yang paling berpengaruh dan terbukti paling membekas dalm mempersiapkan dan membentuk aspek karakter, moral, spiritual dan etos sosial siswa sebagai generassi muda . Sesungguhnya seorang guru sangat mudah mengajar seorang siswa tentang materi pembelajaran, akan tetapi mnejadi teramat sulit ketika ia melihat orang yang memberikan pengarahan, bimbingan dan lingkungan tidak mengamalkannya.
Di akhir tulisan ini, Zig Zaglar (2001) mengingatkan kita semua dengan  pernyataan “perhatikan pikiranmu karena ia akan menjadi kata-katamu. Perhatikanlah kata-katamu karena ia akan menjadi prilkumu. Perhatikan prilakumu karena ia akan menjadi kebiasaanmu. Perhatikanlah kebiasaan-kebiasaanmu, karena ia menjadi karaktermu, perhatikan karaktermu karena menjadi takdirmu”. Ini menandakan betapa penting arti sebuah pembiasaan, keteladanan, di dalamya karakter sikap tolerasi.
Guru, dalam berbagai keadaan tetap dapat memberikan kontribusinya untuk melakukan perubahan. Perubahan menjadikan generasi muda yang berkarakter universal. Yakni sikap-prilaku universal dalam sebuah perbedaan, pluralisme kehidupan berbangsa dan bernegara yang kita cintai ini.
Wallahu’alam bis sawwab. Semoga bermanfaat
*Penulis adalah guru SMPN I Wonosalam, Kab. Jombang, Jawa Timur

Surat Terbuka Kepada Para Pelajar Indonesia; “Muridku, Jangan Jadi Penjajah Bangsamu Sendiri”








Mencermati hari-hari terkini di dalam negeri ini, saya –sebagai anak bangsa– yang  mendapat amanah menjadi guru, merasa sangat tidak enak hati. Bagaimana tidak, berbagai berita media massa didominasi pencederaan terhadap nilai-nilai luhur bangsa: korupsi aparat negara, anarkisme buruh, pelajar dan mahasiswa, premanisme, pembodohan dan kemiskinan struktural, dan seabreg kejahatan lain yang tidak bisa diterima akal sehat. Saya ingin sekali mengajak para pelajar seantero negeri untuk berkontemplasi sejenak, berfikir ulang tentang makna kemerdekaan. Kepada mereka, saya menulis surat ini.

Muridku,
Telah genap 66 tahun bangsa Indonesia lepas dari belenggu penjajahan asing. Setelah lebih dari tiga puluh lima dekade menjadi bangsa yang hina dan nista berada dalam tekanan, dominasi, dan eksploitasi tanpa batas. Proklamasi 1945 pada awalnya adalah titik kulminasi dari serangkaian perjuangan tanpa pamrih para pejuang kemerdekaan. Proklamasi 1945 adalah harga setimpal dari pegorbanan harta, darah, dan nyawa para pejuang. Tapi seiring perjalanan waktu, proklamasi mulai kehilangan makna; tidak lagi menjadi akhir penjajahan, tapi perlahan menjadi awal dari penjajahan babak baru, sebuah estafeta kolonialisme yang mengerikan.
Sejarah telah banyak, bertutur kepada kita mengapa dulu kita terhina dan terinjak selama lebih dari 350 tahun. Saya yakin kalian percaya, pada awal kedatangannya, para pedagang Portugis atau Belanda itu memang menyimpan misi dominasi dan eksploitasi terhadap penduduk di kepulauan nan subur ini. Tapi percayakah kalian bahwa keserakahan para pedagang bule itu bukanlah alasan terbesar mengapa akhirnya drama horor penjajahan itu terjadi. Tidak, bahkan pada awalnya mereka dipenuhi keraguan dan ketakutan; mereka hanyalah pendatang dari tanah yang jauh.
Episode pertama dari drama horor itu adalah negosiasi kepada para penguasa tanah ini, yaitu para raja dan tuan tanah, para penguasa politik dan ekonomi. Negosiasi itu tentang pembagian keuntungan di antara mereka: para bule menawarkan emas, uang, dan tentu saja hiburan ala bule yang meningkatkan libido para raja lokal plus kesempatan pelesir ke Eropa bersama keluarga dan kolega. Kemudian para bule ‘hanya’ meminta ‘sedikit’ flora-fauna tropis dan ‘beberapa kaplingan tanah’. Akhirnya –kita semua tahu– para  raja setuju, kemudian kedua belah pihak menggelar pesta atas suksesnya super deal itu.
Para raja begitu nyata tidak berpihak kepada rakyatnya dan hanya menghitung keuntungan materi dari kerjasama itu. Akibatnya, di balik panggung pesta itu, rakyat jelata merana. Demi melengkapi segala kebutuhan pesta gila itu, mereka harus bekerja pagi, sore, siang, dan malam. Para jelata makin kurus, para raja makin gemuk, dan para bule melenggang kangkung di kandang lawan (karena yang seharusnya lawan, kini sudah jadi teman). Demikianlah, percampuran keserakahan para tamu yang tidak tahu malu dengan keserakahan tuan rumah yang tidak peduli, telah menyisakan ampas sejarah itu: penjajahan. Benarkah mereka tidak malu? betulkah mereka tidak peduli? Tentu saja tidak, malu dan peduli adalah dua kata pertama yang hilang dari kamus para serakah, para penjajah.
Demikianlah, telah jelas bagi kita skenario hitam kolonialisme, yaitu konspirasi jahat antara pihak asing dengan penguasa –politik dan ekonomi– domestik. Karenanya jangan heran kalau ada beberapa raja pada masa itu kurang setuju menyebut Portugis dan Belanda sebagai penjajah. Sebab mereka telah merasakan cukup banyak ‘kemajuan’ selama kerjasama dengan pihak asing itu. Bukankah asing itu telah membangun begitu banyak sarana dan prasarana di kerajaan? dan bukankah anak-anak para bangsawan sudah bisa bersekolah di sekolah-sekolah khusus kaum bangsawan? Kedengarannya sangat logis kan? Memang begitulah pola pikir para opurtunis borjuis. Kepentingan rakyat tidak pernah masuk prioritas.
Setelah episode pertama berjalan mulus, yaitu setelah mendapat simpati dari para penguasa setempat, pihak asing itu makin merajalela. Mereka akhirnya mendominasi seluruh regulasi, baik dalam bidang politik, ekonomi, militer, dan sebagainya. Para raja yang lengah pada awal cerita, perlahan mulai menjadi pecundang, sub-ordinat, dan bahkan sama sekali kehilangan otoritas. Para raja akhirnya dipaksa tunduk bertekuk lutut dan mengakui kedaulatan asing di tanah mereka sendiri. Sungguh ironis; para raja masih memakai mahkota dan duduk di singgasana, tapi sudah tuna kuasa. Pihak asing menjadi penguasa tunggal, single absolute authority. Episode selanjutnya mudah ditebak: eksploitasi SDA dan dehumanisasi SDM tanpa batas.
Para raja yang telah menjadi pecundang di kandang sendiri, akhirnya mencoba bangkit, merebut kembali supremasinya. Tapi ibarat pohon, mereka merasakan betapa sulitnya upaya kebangkitan itu, terutama setelah sekian lama sikap kepedulian tidak dipupuk dan tangkai-tangkai kewenangan yang sudah dipangkas habis pihak asing. Dalam upaya kebangkitan itu, para raja se-nusantara memiliki motif berbeda; sebagian kecilnya berjuang dengan alasan idealis-ideologis, Pangeran Diponegoro di Jawa, Pangeran Antasari di Kalimantan, dan Sultan Hasanuddin dari Sulawesi adalah representasi fenomenal dari golongan minoritas ini. Yang paling banyak adalah raja-raja yang melawan setengah hati (tidak total, apalagi tulus) dan akhirnya kalah total. Sisanya hanya berkutat dengan perang antar sesama saudara dengan motif materi dan keserakahan yang nyata, menjadi sasaran empuk dari politik devide et imperaBelanda.
Demikian pula dari kalangan rakyat jelata, ada juga sedikit dari mereka yang maju ke medan konfrontasi bergabung dengan barisan para pejuang. Tapi kebanyakannya telah tumbuh menjadi pengecut, dan tidak peduli. Ternyata ketidakpedulian bukan hanya menjadi trade markpara penjajah, tapi juga menjadi ciri utama kaum terjajah. Selain itu, yang juga banyak jumlahnya adalah para jelata yang menjadi mata-mata dan tukang pukul pihak Belanda. Inilah ‘anjing-anjing peliharaan’ para meneer yang banyak berkeliaran di kampung-kampung; menggonggong dan menggigit saudara sendiri.
Muridku,
Bandingkanlah episode kelam penjajahan itu dengan realitas kehidupan berbangsa kita hari ini. Tidakkah kalian melihat begitu banyak kesamaan? Tentang ‘raja-raja’ kita yang menjual murah kekayaan alam negeri ini kepada korporasi asing, tentang gemerlap mewahnya kehidupan para petinggi negara dan daerah dari hasil negosiasi itu plus dana APBN dan APBD yang mengalir deras ke rekening pribadi dan kolega mereka, tentang para preman yang menghantui ibu kota hingga pelosok desa, tentang pemimpin di berbagai lini yang serakah dan tumpul rasa peduli, tentang wong cilik yang tumbuh menjadi pengecut dan juga tidak peduli, tentang budaya instan yang menjalari hampir kita semua, tentang A sampai Z coreng-moreng yang merupakan ciri-ciri substantif penjajahan yang masih melekat di sekujur tubuh bangsa besar ini?
Muridku,
Maafkanlah aku, bila mengatakan bahwa kita belumlah benar-benar merdeka. Ciri-ciri orang merdeka belumlah dimiliki sebagian besar masyarakat kita; mereka masih tertinggal jauh, tidak punya akses, uneducated, miskin, dan frustrasi. Ciri-ciri orang memerdekakan belumlah dimiliki mayoritas  pemimpin kita; mereka masih terlalu sibuk dengan proyek pribadinya, terlalu banyak basa-basi, pakem kepemimpinannya masih tradisionalis-formalis-egois-opurtunis. Mereka belum lagi peka, belum mau peduli, belum mau melayani, belum, belum, dan memang belum.
Mengapa akhirnya kita bisa merdeka? Adalah pertanyaan yang menjadi diskursus menarik untuk dikaji ulang, bukan hanya karena ia menjadi segmen sejarah yang sangat penting, tetapi juga karena ia harus menjadi road map bagi generasi hari ini untuk menapaktilasi jalan kemerdekaan sejati. Ada dua argumen utama sebagai jawabannya. Pertama, semangat kepahlawanan, yaitu semangat mau berkorban untuk kepentingan yang lebih besar, mengikis egosentrisme dan megalomania, penuh totalitas,  dan tidak mengharap imbalan apapun. Kedua, semangat nasionalisme, yaitu semangat dan kerangka juang yang menasional; menyeluruh secara demografis dan antropologis, tidak lokalis, dan tidak etnosentris.
Dengan semangat kepahlawanan yang tertancap kuat, maka benih penjajahan tidak akan pernah tumbuh.  Kepahlawanan dan penjajahan adalah dua kutub kontradiktif; kehidupan bagi yang satu berarti kematian bagi yang lain. Individu yang merdeka adalah yang bermental pahlawan, demikian pula komunitas dalam skala apapun, hanya mereka yang memiliki sifat kepahlawanan yang tidak akan terjajah. Para pahlawan tidak pernah terjajah, mereka lebih memilih maju ke medan tempur dan membangun barak pertahanan di hutan-hutan, tidak pernah mengeluh dalam dingin yang menggigit, lapar yang melilit, dan luka-luka yang parah. Jangankan hanya harta dan tenaga, bahkan nyawa siap mereka korbankan demi kata merdeka. Jadi bisa kita katakan bahwa proklamasi itu adalah dari, oleh, dan untuk para pejuang, para pahlawan.
Semangat kepahlawanan yang terserak dalam ranah individual dan terlokalisasi dalam lingkup kedaerahan, tidak akan pernah cukup untuk mengenyahkan penjajahan yang super power. Ia harus dipersatukan dalam wadah yang lebih besar agar memiliki kekuatan yang juga super. Demikianlah nasionalisme harus menjadi wadah semangat kepahlawanan yang membara. Tanpa wadah itu, semangat kepahlawanan akan habis tertumpas tanpa bekas. Analogi relasional antara semangat kepahlawanan dan semangat nasionalisme adalah bagaikan sebutir telur: kepahlawanan adalah isinya, nasionalisme adalah cangkangnya. Isi tanpa cangkang hanya akan membusuk dengan cepat, sebaliknya cangkang tanpa isi hanyalah benda ringkih tiada fungsi. Kepahlawanan minus nasionalisme hanya memberikan kemerdekaan temporal dan parsial, sementara nasionalisme tanpa kepahlawanan bahkan tidak akan memberi kemerdekaan apapun.
Semangat kepahlawanan lokalistik dan sporadik yang bergejolak di seantero nusantara, hanya membuat penjajah bergeming. Sampai sejarah akhirnya memberi validasi tentang sahihnya kolaborasi kepahlawanan dan nasionalisme itu. Adalah Budi Oetomo pada 1908, kemudian disusul Soempah Pemoeda 1928 lahir sebagai kanal potensi besar kepahlawanan anak-anak negeri yang akhirnya bermuara pada momen gigantis dalam lakon sejarah heroisme yang panjang: proklamasi 17 Agustus 1945.
Muridku,
Munculnya carut marut bangsa hari tidak lain kecuali disebabkan oleh krisisnya semangat kepahlawanan dan nasionalisme anak-anak bangsa. Inilah PR terbesar semua komponen bangsa hari ini tanpa kecuali. Jadi, mari kita semai benih kepahlawanan itu sekarang, kita tidak boleh menundanya, karena penundaan hanya akan memperpanjang nafas keterjajahan dan penistaan terhadap diri dan negeri. Mari bersama kita siram dan pupuk benih itu dengan nasionalisme sejati, bahwa kita adalah milik Indonesia dan Indonesia adalah milik kita.
Marilah, mari datang ke sekolah pagi-pagi, mulailah hari dengan optimisme pahlawan sejati untuk mengerahkan seluruh energi dan potensi meraih prestasi. Bukalah lembar demi lembar buku pelajaran itu dengan rasa ingin tahu yang menggebu. Jalinlah hubungan yang humanis lagi harmonis dengan rekan-rekan dan semua guru. Berbahasalah yang sopan nan elegan. Peliharalah kerapihan, kebersihan, dan keasrian lingkungan agar sekolah menjadi rumah yang nyaman. Berolahragalah dengan penuh gairah, dan jangan biarkan sedikitpun ada sampah. Jauhi rokok, miras, dan narkoba dan tidak usahlah mengenalnya. Masukilah laboratorium dengan senyum. Duduklah membaca sembari menganalisa di perpustakaan dengan rasa nyaman.
Setelah itu, pulanglah ke rumah dengan wajah cerah. Temui ayah, ibu, dan saudara, pergaulilah mereka dengan santun dan penuh etika. Tambahlah waktu belajarmu di rumah secara mandiri, manfaatkan teknologi informasi. Jangan sekali-kali bertindak anarkis, jangan pula sentuh itu pornografi, tahanlah diri. Kemudian tekunlah beribadah, jaga hubunganmu dengan-Nya agar segala urusanmu menjadi mudah.
Murid-muridku,
Aku tahu, begitu sulit menjadi pahlawan hari ini, ada begitu banyak godaan, ada sedemikian rupa hiburan yang menyesatkan. Selamanya tidak mudah menjadi pemuda yang baik. Memang, selamanya selalu sulit menjadi pahlawan, tidak akan pernah ringan, ada begitu banyak rintangan. Tapi itulah satu-satunya jalan kemerdekaan, tidak ada jalan lain. There’s no way but one. Jadi berjuanglah, jangan pernah menyerah, jangan, sekali-kali jangan.
Marilah murid-muridku. Mari kita berpegangan tangan, satukan visi, satukan misi, satukan aksi. Berjuang tiada henti, untuk kemerdekaan sejati, untuk Indonesia Raya yang benar-benar merdeka; rakyat adil, makmur, dan sejahtera. Untuk Indonesia yang menjadi pemenang. Untuk menang kita harus berjuang, tiada yang berjuang kecuali pahlawan. Untuk menjadi pemenang esok hari, kalian harus jadi pahlawan hari ini. Untuk menjadi pahlawan bagi bangsa kemudian hari, kalian harus menjadi pahlawan di rumah dan di sekolah hari ini. Jadilah pahlawan bagi ayah-ibu dan bapak-ibu guru lebih dulu, kelak nanti kalian akan jadi pahlawan bagi bangsa dan negara.
Ya, hari ini, tumbuhkan kejujuran dalam dirimu, jangan pernah mencontek meski kalian tidak diawasi. Rawatlah sikap toleransi dan rasa empati kepada sesama, jangan sekalipun pernah mengejek temanmu, sehebat apapun kamu. Kembangkanlah sikap disiplin dan patuh terhadap segala aturan, jangan coba-coba membolos, siapapun yang menggodamu. Dan jangan pernah alpa untuk menjadi religius dalam kondisi apapun. Tumbuhkembangkan semua itu, kelak kalian pasti tumbuh menjadi pahlawan, menjadi protagonis dalam kisah kemerdekaan. Bersihkan dirimu dari kuman keserakahan, ketidakpedulian, dan egosentrime. Bila tidak, kalian hanya akan tumbuh menjadi pecundang, menjadi antagonis dalam lakon penjajahan tiada akhir.
Murid-muridku,
Saat ini kalian adalah pemimpin untuk diri sendiri. Setelah itu kalian akan menjadi pemimpin bagi orang lain. Saat tongkat estafet itu ada di tanganmu, maka jadilah pengayom, jadilah pelayan, jadilah pahlawan. Jangan justru menjadi penindas, jangan menjadi penghianat. Jangan jadi penjajah bangsamu sendiri!

*Penulis adalah Peserta Lomba Essai Guru Nasional Lazuardi Birru tahun 2011

Gagasan Berbagi dalam Pendidikan 2.0



Pada Era Industri di abad yang lampau, dunia bisnis berkompetisi satu sama lain. Satu industri berkompetisi untuk mengalahkan industri pesaingnya.
Untuk dapat bertahan, industri pesaing harus dikalahkan. Itulah pakem dalam dunia industri masa itu. Lalu, apakah sifat berkompetisi masih sesuai dengan masa kini? Lebih penting lagi, apakah sikap berkompetisi itu sejalan dengan dunia pendidikan masa modern ini? Jika diamati, kehidupan di dunia global masa modern ini sangat berbeda.
Saat ini kehidupan menuntut manusianya semakin bijak. Manusia modern dituntut memanfaatkan jagat semesta untuk diwariskan dalam bentuk yang baik bagi generasi mendatang. Greed atau keserakahan yang kerap mendasari kehidupan era terdahulu telah digantikan gagasan berbagi di era saat ini.

Kompetisi Sudah Kuno
Apakah inovasi Google dan Facebook dipicu kompetisi? Tidak, inovasi keduanya lahir sama sekali bukan dipicu kompetisi atau semangat ingin mengalahkan pesaing. Google diciptakan pada saat belum ada mesin pencari. Jadi, belum punya pesaing. Google dibuat pertama kali dengan tujuan memudahkan orang dalam menggali informasi di internet.
Facebook diciptakan mulanya hanya untuk memudahkan mahasiswa berbagi rujukan atau referensi dalam penulisan tugas. Jadi, inovasi dua perusahaan modern itu dipicu gagasan berbagi. Inovasi modern lain yang fenomenal seperti Youtube, Dropbox, TEDx, Khan Academy, Udacity, dan banyak lainnya juga dipicu gagasan berbagi.
Seorang guru besar dari Universitas Stanford, Sebastian Thrun, beberapa bulan lalu mengundurkan diri dari Stanford dan memutuskan mengembangkan Udacity, yang menyediakan perkuliahan gratis secara online. Dalam situs pribadinya, dia menegaskan pendidikan bermutu harus dapat dirasakan siapa saja, di mana saja, dan kapan saja.
Salman Khan pun keluar dari pekerjaannya di Wall Street untuk membangun pendidikan gratis bagi semua melalui Khan Academy-nya. Itu semua menunjukkan gagasan berbagi benar-benar sudah menjadi pakem paling penting di kehidupan modern ini.
Sebaliknya, semangat mengalahkan orang lain sudah sangat kuno. Dalam filmnya, An Inconvenient Truth, Al Gore menyindir pemerintahan masa modern yang sering menerapkanold habits plus new technology. Sikap serakah mengeksploitasi alam, gemar berperang, dan kompetisi untuk mengalahkan orang lain yang subur di masa lalu, jika diterapkan sekarang dengan menggunakan teknologi modern, dampaknya akan luar biasa. Jika skala dampak perilaku kuno itu dahulu kecil, dengan teknologi atau senjata modern sekarang ini, dampaknya dahsyat dan sangat sulit dikoreksi.
Jika Indonesia dahulu selalu dibanggakan dalam sifat gotong royongnya, kenyataan yang tumbuh subur saat ini justru semangat individualistis untuk mengalahkan orang lain. Mungkin dalam olahraga, spirit mengalahkan orang lain itu wajar. Namun dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, gagasan berbagi jauh lebih dibutuhkan bangsa ini.
Pada masa lalu, semangat kompetisi telah disisipkan dalam dunia pendidikan. Sampai-sampai bagi sebagian besar orang, kompetisi itu sudah dianggap normal. Keadaan kompetensi satu anak diadu dengan anak lain dianggap normal. Produktivitas satu guru diadu dengan guru lainnya juga dianggap normal.
Itu mirip dengan adu jangkrik. Jangkrik yang kalah dibuang. Sangat mungkin, cara pandang seperti itu disebabkan menganalogikan sekolah dengan pabrik. Kalau sebuah pabrik hendak memproduksi kursi, kayu yang tak memenuhi standar tentu dibuang.
Namun, pantaskah analogi tersebut diterapkan dalam dunia pendidikan? Pendidikan tidak berhadapan dengan benda mati, tetapi manusia. Sungguh tak manusiawi melabel satu anak manusia sebagai apkiran/produk gagal dalam proses pendidikan, walaupun dia tak mencapai standar kompetensi yang diharapkan. Perlu dicatat, pendidikan umum sangat berbeda dengan pelatihan atau ujian profesi.

Pendidikan 2.0
Pengelolaan pendidikan yang meniru cara mengelola pabrik pada Era Industri -kita sebut saja Pendidikan 1.0–mengidealkan lulusan yang memiliki kompetensi seragam. Saat itu pendidikan memang dituntut untuk menghasilkan buruh yang patuh dan berketerampilan seragam yang diperlukan pabrik. Jadi, semangat kompetisi merupakan gagasan yang cocok saat itu. Keinginan buruh bekerja keras dengan berkompetisi tentunya juga sangat menyenangkan pabrik. Lulusan pendidikan yang kreatif dan pemikir kritis tak dibutuhkan pada masa itu.
Kemudian, Pendidikan 1.0 yang mendewakan budaya kompetisi membenarkan upaya memacu siswa agar belajar keras dengan cara mengadu satu siswa dengan siswa lainnya. Indikator numerik seperti nilai ujian secara sempit menjadi tolok ukur tunggal yang digunakan untuk mengevaluasi siswa.
Dampaknya, satu siswa biasa berusaha mengalahkan siswa lain dalam indikator tersebut. Sudah sangat biasa kita amati seorang siswa kita tidak mau membantu temannya karena takut nilainya dikalahkan temannya itu. Itulah sikap yang tumbuh di Pendidikan 1.0.
Namun, pendidikan di era sekarang yang disebut Pendidikan 2.0 sangat berbeda. Pendidikan 2.0 tidak meletakkan kompetisi sebagai nilai yang paling penting. Semangat mengalahkan orang lain sudah diganti dengan gagasan berbagi. Dalam kaitan ini, jika dimaknai sebagai suatu proses rekayasa sosial dalam upaya menawarkan gagasan alternatif bagi masyarakat, pendidikan berperan sangat penting dalam pengembangan kebudayaan. Khususnya, jika budaya berkompetisi serta sifat individualistis dan nafsu mengalahkan orang lain sekarang bertumbuh subur di masyarakat, itu merupakan tugas Pendidikan 2.0 untuk menawarkan gagasan alternatif. Gagasan alternatif yang ditawarkan Pendidikan 2.0 ialah budaya berbagi.

Sekolah di Era Berbagi
Tugas guru di Pendidikan 2.0 ialah mengajak semua siswa terlibat dalam kegiatan belajar. Kata `semua’ di sini berarti bahwa dari siswa yang paling pandai sampai yang paling lemah atau yang paling enggan belajar pun harus menjadi berhasrat terlibat pembelajaran.
Permasalahan muncul jika kompetisi digunakan dalam pembelajaran. Siswa yang pandai dalam mata pelajaran tertentu itu memang akan terlibat. Namun, bagaimana dengan siswa lemah dan yang sudah enggan belajar? Sangat wajar jika siswa-siswa lemah akan bereaksi menjadi pasif dan tak berminat terlibat aktif dalam kelas yang bernorma kompetisi.
Kalau suasana kompetisi antarindividu seperti itu dipaksakan di dalam kelas, siswa lemah akan semakin enggan belajar dan mereka akan semakin jauh tertinggal. Dampaknya, siswa-siswa tersebut akan menjadi pasif atau malah bereaksi dengan mengganggu kelas. Itu reaksi yang manusiawi untuk survive atau bertahan. Apakah tidak ada siswa lemah yang menjadi giat belajar karena iklim kompetitif? Mungkin saja ada, tetapi peluangnya sangat kecil. Umumnya, mereka akan semakin tidak ingin terlibat dalam pembelajaran.
Lalu, apakah memang tidak boleh sama sekali menggunakan suasana kompetisi dalam kelas? Jika kompetisi yang dimaksud ialah kompetisi antarindividu, sebaiknya tidak. Namun, kompetisi antarkelompok itu baik. Keadaan psikologis individu dan kelompok dalam menghadapi suasana kompetisi sangat berbeda. Terutama, sangat berbeda pada siswa yang sudah enggan belajar.
Akan tetapi, walaupun sikap kompetisi mungkin saja punya sisi positif dalam pendidikan di era sekarang, sikap sekaligus karakter berbagi tetap jauh lebih relevan dan mulia jika dibandingkan dengan semangat mengalahkan orang lain. Pendidikan 2.0 perlu mengirimkan pesan ke masyarakat kita bahwa gagasan berbagi itu prinsip utama dalam era modern ini.
Pesan ini antara lain dapat dicetuskan melalui sebuah sistem rubrik yang secara tegas meletakkan sikap membantu orang lain sebagai nilai termulia dan paling dihargai di sekolah.
Misalnya, sekolah dapat menetapkan nilai C untuk siswa yang memenuhi standar minimum, nilai B untuk siswa yang melebihi standar minimum, dan A untuk siswa yang sudah melebihi standar minimum dan berhasil mengajar siswa lain yang tadinya bernilai D menjadi C. Dengan sistem rubrik seperti itu, pesan kita sebagai Guru 2.0 sangat jelas, semangat kolaborasi dan membantu orang lain ialah sikap paling mulia. Pendidikan 2.0 bertanggung jawab menyuburkan budaya berbagi untuk bangsa.

Iwan Pranoto
Guru Besar Institut Teknologi Bandung
Sumber: Media Indonesia, 25 Juni 2012