Pages

Kamis, 16 Januari 2014

Guru Multikultural-Rahmatan Lil ‘Alamin; Agen Perubahan Generasi Muda



Perkembangan dunia, sebagaimana yang diramalkan AlfinTofler memasuki  era global sudah terasa dampaknya. Segala informasi dapat terakses dengan cepat, peristiwa disuatu tempat yang jauh bukan halangan untuk diketahui. Cukup dengan “klik” seketika itu dapat dibaca bahkan dapat ditonton oleh siapapun.

Laju cepat perubahan tersebut memberikan andil besar  informasi yang masuk dalam aspek kehidupan sosial, budaya, tata nilai. Tentunya dapat memberikan dampak positif dan negatif. Untuk itu, pendidikan dan peran  guru seberapa siap membangun dasar kepribadian sebagai bangsa dan mempertahankan nilai-nilai budaya kepada generasi muda. Seperti membangun rasa kebersamaam, nasionalisme, cinta tanah air, kesadaran menerima keberagaman  sebagai bangsa yang plural serta multikultural.

Dari catatan sederhana di atas, sangat tidak berlebihan jika dunia pendidikan, dapat segera berbenah diri. Pembenahan yang dimaksud adalah merevitalisasi pendidikan yang memberikan keseimbangan pada aspek intelektual dan nilai (baca: karakter). Termasuk diantara pembenahan itu adalah membangun kompetensi  guru “multi-profesional”.

Mengapa harus guru? Karena guru mempunyai tempat strategis, guru adalah bagian dari agen pembaharu dan investasi masa depan bangsa. Guru menjadi perentas dan agen terdepan untuk bangsa ini. Dapat mendorong perubahan lebih baik. Khusus dewasa ini, permasalahan karakter serta kepribadian bangsa, menjadi sesuatu yang serius. Untuk itu perlu  “di up grade”.
Permasalahan yang cukup serius itu adalah lemahnya rasa nasionalisme, rasa kebersamaan dan rendahya sikap toleransi sebagai dampak sikap “anti multikultural”  serta reformasi tanpa arah . Yang menyebabkan tercerabutnya nilai-nilai yang selama ini menjadi bagian kehidupan berbangsa sehari-hari.

Fenomena itu dipertontonkan laiknya sebuah hiburan, begitu mudahnya anak – anak sekolah tawuran, mahasiswa yang nota bene kelompok intelektual hampir setiap minggu tawuran, hanya karena persoalan-persoalan sepele. Belum lagi konflik antar etnis, begitu mudah disulut oleh persoalan serta isu-isu sosial yang sangat tidak logis, seperti karena batas wilayah, tersinggung oleh etnis tertentu. Dan terakhir meledaknya “bom jihad”  dilakukan seseorang yang usinya terglong relatif muda dan masih berusia produktif. Dengan mengatasnamakan agama, begitu mudahnya mereka menjadikan ratusan nyawa masyarakat tak berdosa melayang.”Lebel agama” menjadi   alat pembenar dan mengerikan bagi manusia lainnya. Yang semestinya, agama menjadi alat pendamai, perengkuh rasa kasih diantara manusia.

Mungkinkah hal tersebut adalah tanda keruntuhan toleransi, yang kita bangun selama ini, atau karena kegagalan guru dalam mendidik serta menanamkan arti sebuah toleransi, pluralisme–keberagaman dalam kehidupan anak-anak di sekolah, sebagai generasi penerus bangsa yang beradab.
Semestinya semua tidak perlu terjadi, dan mereka harus dapat belajar hidup berdampingan dengan sesama anak negeri, berbeda suku, agama, ras

Guru Multikultural: Rahmatal lil ‘alaamin
Sekitar bulan Maret 2010, penulis berkunjung ke SMP Depena Surabaya, sebuah sekolah swasta. Ada kesan tersendiri saat pertama masuk di lingkungan sekolah tersebut. Betapa terkejut, ketika anak-anak etnis Tionghoa datang menyambut dengan santun, mengajak bersalaman kemudian mencium tangan dan berkata “apa ada yang bisa saya bantu pak”. Yang menjadi pertanyaan penulis, Sekolah yang berada di kota terbesar kedua di Indonesia “kok masih  bisa” melahirkan siswa-siswanya berkepribadian seperti ini. Kemudian saat berbincang, ada banyak hal yang menginspirasi, diantaranya  lingkungan belajar, menunjukkan keragaman kerhidupan bangsa Indonesia yang multikultural. Ini dimanifestasikan dengan  adanya empat tempat ibadah yang berbeda, siswa berasal dari Ambon, Jawa, kalimantan, Bali, termasuk etnis Tionghoa, dll. Mereka dapat hidup berdampingan satu dengan yang lain, bercanda, bermain dan belajar bersama. Tak ada olok-olok diantara mereka. Mereka bisa saling memahami, bahwa perbedaaan adalah suatu fakta yang harus diterima.
Sungguh suatu yang indah. Dibalik semua itu, terinyata tidak terlepas dari peran seorang guru. Karena semua guru memiliki pemahaman nilai–karakter yang sama. Mereka memilki sikap keteladanan, egaliter, kesabaran, dan jiwa toleransi diantara guru itu sendiri. Khususnya, mereka mampu menanamkan, memperlakukan, dan menebarkan nilai rasa aman, damai, kebersamaan, toleran, rasa hormat diantara para siswa peserta didik dan warga sekolah lainnya.
Derajad pendidikan yang demikian ini semestinya dapat dicapai oleh seorang guru kepada siswanya. Begitu pentingnya karakter, Mahatma Gandi pernah mengatakan “ kualitas karakter adalah satu-satunya faktor penentu derajad seseorang dan bangsa”. Dan membangun karakter  (charackter building) adalah menjadi keinginan semua orang, terutama para pendiri bangsa. Karakter yang baik lebih dari sekedar perkataan melainkan sebuah pilihan yang membawa kesuksesan. Ia bukan anugerah, melainkan perlu dibangunn sedikit demi sedikit, dengan pikiran, perkataan, perbuatan, keberanian, kerja keras, dan bahkan dibentuk dari kesulitan hidup, dikutip dari Maxwell , dalam bukunya “  The 21 Indiespensable Qualities of Leader (2011)”.

Bahkan dalam suatu kesempatan, Susilo Bambang Yudoyono (SBY) secara tersurat dalam pidatonya “ kedepan bangsa ini harus harus meningkatkan kemandirian, daya saing dan peradaban bangsa. Untuk itu pendidikan harus bertujuan mentransfer ilmu pengetahuan dan teknologi, serta membentuk nilai dan karakter bangsa yang unggul yang dicirikan dengan ulet, tangguh, saling menyayangi, menghormati, dan toleransi.
Pernyataan diatas dapat dimaknai bahwa dalam sebuah proses pendidikan, guru harus mampu “membumikan”  menghadirkan nilai karakter yang dimaksud. Diantaranya sikap toleransi, menghargai perbedaan dan menerima keberagaman. Jadi, guru  bukan semata-mata mentransfer kemampuan kuantitatif iptek pada siswa sebagai generasi muda.
Karena itu,  guru memiliki nilai   startegis dalam penanaman sebuah nilai, budaya pada sebuah proses pendidikan di dalam kelas. Mengingat di ruang kelas itu, seorang anak memperoleh pengalaman pertama, menerima sumbangan yang sangat berarti di dalam menumbuhkan kesadaran akan berbagai perbedaan. Melalui kegiatan-kegiatan kelas, guru dapat mengembangkan berbagai strategi pembelajaran yang mengedepakan nilai multikultural.

Untuk mencapai itu semua diperlukan guru yang memiliki nilai pribadi “multikultural–rahmatal lil ‘alamin” bagi semua. Guru yang dapat menjadi agen perubahan generasi muda agar lebih dapat memahami pentingnya sebuah toleransi di tengah keberagaman suku, agama, ras, serta budaya bangsa Indonesia.

Dalam bahasa kekinian, guru “multikultural—rahmatal lil ‘alamin” adalah guru yang mampu mempersonifikasikan diri sebagai peneduh, penyelesai,  serta penebar nilai-nilai pluralisme (keberagaman) kepada siswa sebagai generasi muda penerus bangsa. Pembiasaan sikap humanis, manusiawi, toleran dalam melaksanakan pembelajaran akan memberi makna tersendiri.
Mengajarkan sikap  toleran adanya perbedaan yang ada dalam kelas, yang disertai rasa kasih sayang, menghindari sikap arogan dan kekerasan dalam mendidik siswa. Tentu menjadi nilai lebih bagi siswa sebagai generasi muda bangsa. Mengingat pada tahap tertentu, guru menjadi “pemodelan”, kepantasan untuk dapat ditiru kepribadiannya oleh siswa.

Disamping itu, guru multikultural—rahmatan lil ‘alamin, dalam konteks lain, adalah guru yang mampu men-tarbiyahkan dirinya. Pemaknaan Tarbiyah itu antara lain. Pertama, taqorrub, bahwa seorang guru mampu menciptkan dalam pembelajarannya sebagai upaya pendekatan pada anak didik kepada Tuhan, kepada manusia, kepada keluarga, dan kepada semua ciptaanNya, melahirkan sikap bangga atas segala yang ada disekitarnya

Kedua, amanah, bertanggungjawab dan dapat dipercaya merupakan bagian penting untuk dapat diinternalisasikan guru kapada siswa sebagai generasi muda dalam pembelajaran. Contoh pribadi rosul yang begitu menghargai—menghormati perbedaan apapun, rasa homat-mengormati, kasih sayang dalam kehidupan sehari-hari. Dapat diterapkan di dalam dan di luar kelas.
Ketiga, rahmat, menumbuhkan keteladanan kasih dan sayang kepada siapapun tanpa memandang suku, agama, dan ras , baik di dalam kelas atau di luar kelas. Hal ini sebagai upaya pembiasaan budaya toleransi pada peserta didik. Karena sikap toleransi akan memberi ruang keberagaman, baik sebagai individu atau kelompok.
Disisi yang lain, guru multikultural—rahmatan lil ‘alamin, adalah guru yang mampu menumbuhkan semangat solidaritas dikalangan peserta didik (generasi muda) untuk bisa menerima dan mengakui adanya perbedaan-perbedaan. Bukan dimaksudkan untuk memperkuat identitas diri sendiri, melainkan berjuang untuk membangun kebersamaan.
Memahami itu semua, peran guru begitu strategis, sehingga tidak dapat dielakkan bahwa jiwa dan semangat guru “multikultural—rahmatan lil ‘alamin”, yang mampu diteladani sangat dibutuhkan. Apalagi dengan keadaan seperti sekarang ini, pupusnya keteladanan, hilangnya kepercayaan makin membuat semakin sulit bangkit dari keterpurukan sosial.
Apapun idealnya guru sebagai agen perubahan, ia tidak bermakna apa-apa, manakala semua tidak ada keteladanan. Karena keteladanan dalam pendidikan merupakan metode yang paling berpengaruh dan terbukti paling membekas dalm mempersiapkan dan membentuk aspek karakter, moral, spiritual dan etos sosial siswa sebagai generassi muda . Sesungguhnya seorang guru sangat mudah mengajar seorang siswa tentang materi pembelajaran, akan tetapi mnejadi teramat sulit ketika ia melihat orang yang memberikan pengarahan, bimbingan dan lingkungan tidak mengamalkannya.
Di akhir tulisan ini, Zig Zaglar (2001) mengingatkan kita semua dengan  pernyataan “perhatikan pikiranmu karena ia akan menjadi kata-katamu. Perhatikanlah kata-katamu karena ia akan menjadi prilkumu. Perhatikan prilakumu karena ia akan menjadi kebiasaanmu. Perhatikanlah kebiasaan-kebiasaanmu, karena ia menjadi karaktermu, perhatikan karaktermu karena menjadi takdirmu”. Ini menandakan betapa penting arti sebuah pembiasaan, keteladanan, di dalamya karakter sikap tolerasi.
Guru, dalam berbagai keadaan tetap dapat memberikan kontribusinya untuk melakukan perubahan. Perubahan menjadikan generasi muda yang berkarakter universal. Yakni sikap-prilaku universal dalam sebuah perbedaan, pluralisme kehidupan berbangsa dan bernegara yang kita cintai ini.
Wallahu’alam bis sawwab. Semoga bermanfaat
*Penulis adalah guru SMPN I Wonosalam, Kab. Jombang, Jawa Timur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar