Oleh: Ahmad Baedowi*
"THE secret of education
lies in respecting the pupil. It is not for you to choose what he shall know,
what he shall do. It is chosen and foreordained and he only holds the key to
his own secret." (Ralph Waldo
Emerson)
SAAT mendengar kata kesuksesan,
imajinasi kita pasti akan menangkap pesan berupa gambar asosiatif yang
berkaitan dengan kekayaan dan keberlimpahan materi, kehormatan, dan kedudukan
di mata orang lain.
Seperti teori kebutuhan Maslow,
tiap-tiap kesuksesan seseorang selalu diukur berdasarkan tingkatan yang ingin
dicapainya. Karena itu, kesuksesan juga bisa diidentifikasi dengan motivasi
yang dimiliki seseorang ketika belajar. Artinya setiap motivasi tidak pernah
dikatakan baik apabila tujuan yang diinginkan itu tidak baik, demikian pula
sebaliknya.
Pertanyaannya ialah apakah tujuan
pendidikan kita peduli dengan tujuan dan motivasi anak ketika belajar? Jika
kita survei secara kasar, hampir setiap siswa yang ditanya soal kesuksesan
selalu mengatakan hal-hal yang bersifat kebendaan. Hal itu tak aneh karena
sistem pendidikan di negara kita terlalu berorientasi pada hasil yang bersifat
fisik. Ijazah atau kelulusan, kesempatan dalam bekerja, dan memperoleh
kedudukan adalah di antara fakta-fakta yang ada di sebagian besar kepala siswa
kita. Pendek kata, belajar dimaknai sebagai usaha untuk mengejar kesuksesan
dalam arti yang sempit.
Pendidikan yang berorientasi pada
hasil hampir dapat dipastikan akan menciptakan manusia-manusia yang pasif dan
kering secara spiritual. Mereka bisa memperoleh kesuksesan, tetapi sangat boleh
jadi tak memperoleh kebahagiaan secara hakiki. Kebahagiaan hakiki hanya akan
diperoleh setiap anak jika proses belajarmengajar dimaknai dan dijalankan
sebagai eksplorasi atas nilai-nilai kehidupan yang mulia. Karena itu, proses
belajarmengajar harus berorientasi pada proses yang benar.
Bila mengikuti logika Maslow,
pendidikan yang berorientasi pada hasil sesungguhnya hanya akan memperoleh
kepuasan tingkat fisiologis semata, tetapi akan sulit untuk memperoleh kasih
sayang dan rasa memiliki yang tinggi terhadap kehidupan ini. Penghargaan yang
tinggi terhadap kehidupan hanya bisa diperoleh dengan memberi siswa sebanyak
mungkin pengalaman berinteraksi secara langsung kepada lingkungan sosial tempat
mereka berada.
Menurut teori fisiologi, semua
tindakan manusia itu berasal pada usaha yang memenuhi kepuasan dan kebutuhan
organik atau kebutuhan fisik semata.
Padahal, kebutuhan siswa tak
hanya soal materi semata, tetapi juga berkaitan dengan pengembangan rasa yang
sangat bersifat personal. Proses pendidikan kita yang terlalu menekankan
perkembangan kognitif jelas berbuah panjang hingga saat ini. Orientasi kepada
hasil yang ditandai dengan nilai ujian seakan harga mati dan selalu tak
berbanding lurus dengan pengembangan kapasitas emosi siswa. Akibatnya anak-anak
memiliki bias pikir dan bias rasa yang tak seimbang, dan itu menyebabkan
perilaku aneh dan menyimpang kerap kita temukan di kalangan anakanak sekolah,
seperti kasus kekerasan.
Proses pendidikan yang tak
seimbang antara pikir dan rasa itulah salah satu ujung petaka kemanusiaan di
Indonesia. Adagium tradisi dan budaya yang kerap menyebut masyarakat Indonesia
hidup saling hormat-menghormati seakan pupus oleh begitu banyaknya penyimpangan
perilaku tak berkeadaban seperti tawuran antarwarga, warga melawan polisi,
sekolah versus sekolah, dan yang lebih parah dinodai pula dengan prasangka atas
nama agama dan suku bangsa.
Jelas sistem pendidikan kita
memerlukan road-map baru dalam menggagas tema karakter santun, ramah, dan
saling menghargai. Mungkin baik untuk menimbang komposisi kurikulum pendidikan
kita yang lebih berorientasi kognitif ke arah yang ramah afektif dan
psikomotorik. Dalam praktiknya, antara mata ajar sains, sosial sains,
humaniora, dan seni budaya harus proporsional diajarkan, baik dari aspek durasi
maupun substansi. Kurangnya mata ajar humaniora dan seni budaya di sekolah,
menurut beberapa temuan riset, rentan menjadikan anak-anak berpe rilaku
menyimpang di tengah masyarakat.
Profesor Antonio Damasio (2006)
menyebutkan hari ini sistem pendidikan hampir di seluruh belahan dunia tumbuh
pembedaan yang sangat signifikan antara proses pembelajaran yang berorientasi
kognitif dan emosional. Menyelami empati dan rasa tak memperoleh porsi yang
jelas dalam struktur pendidikan kita sehingga anak-anak kita cenderung dididik
untuk menjadi semacam robot yang minim rasa.
Dalam pandangan Damasio, durasi
dan substansi pendidikan seni budaya dan humaniora seharusnya diseimbangkan
untuk dan dalam rangka menumbuhkan elan vital kemanusiaan manusia, yaitu emosi
dan spiritualitas yang menyatu dalam pikir dan perilaku. Minimnya durasi dan
substansi proses pembelajaran yang mengasah rasa itulah yang salah satunya
menyebabkan menurunnya moralitas masyarakat modern.
Menyeimbangkan pikir dan rasa
dalam praktik pasti akan menumbuhkan sifat menghargai antara satu dan yang
lain, dan kondisi itu sejalan dengan fakta betapa majemuknya masyarakat
Indonesia. Hilangnya kesadaran kolektif kita sebagai sebuah bangsa yang majemuk
lebih banyak disebabkan ketidakefektifan kebijakan kurikulum kita yang kurang
menimbang dalam menyeimbangkan rumpun dan mata ajar yang ada.
Hans-Peter Becker dalam Unleash
the Secret of Education and Learn How to Raise a Happy Child (2012) menemukan
hal menarik bagaimana kita dapat menuntut anak meraih kesuksesan secara
seimbang, baik kebutuhan jasmani maupun rohani. Caranya, biarkan anak belajar
sambil mendengarkan musik atau jadikan aktivitas menyanyi menjadi bagian tak
terpisahkan dari proses belajar-mengajar yang terjadi setiap hari, baik di ruang
kelas, sekolah, rumah, atau di mana saja ketika anak ingin belajar. Kombinasi
pikir dan rasa yang efektif akan melahirkan arti dan nilai (meaning and value)
yang berkelanjutan dalam perilaku siswa.
* Ahmad Baedowi; Direktur
Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
Sumber: MEDIA INDONESIA, 30 Desember 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar