Mencermati hari-hari terkini di dalam negeri ini, saya –sebagai anak
bangsa– yang mendapat amanah menjadi guru, merasa sangat tidak enak
hati. Bagaimana tidak, berbagai berita media massa didominasi
pencederaan terhadap nilai-nilai luhur bangsa: korupsi aparat negara,
anarkisme buruh, pelajar dan mahasiswa, premanisme, pembodohan dan
kemiskinan struktural, dan seabreg kejahatan lain yang tidak bisa
diterima akal sehat. Saya ingin sekali mengajak para pelajar seantero
negeri untuk berkontemplasi sejenak, berfikir ulang tentang makna
kemerdekaan. Kepada mereka, saya menulis surat ini.
Muridku,
Telah genap 66 tahun bangsa Indonesia lepas dari belenggu penjajahan
asing. Setelah lebih dari tiga puluh lima dekade menjadi bangsa yang
hina dan nista berada dalam tekanan, dominasi, dan eksploitasi tanpa
batas. Proklamasi 1945 pada awalnya adalah titik kulminasi dari
serangkaian perjuangan tanpa pamrih para pejuang kemerdekaan. Proklamasi
1945 adalah harga setimpal dari pegorbanan harta, darah, dan nyawa para
pejuang. Tapi seiring perjalanan waktu, proklamasi mulai kehilangan
makna; tidak lagi menjadi akhir penjajahan, tapi perlahan menjadi awal
dari penjajahan babak baru, sebuah estafeta kolonialisme yang
mengerikan.
Sejarah telah banyak, bertutur kepada kita mengapa dulu kita terhina
dan terinjak selama lebih dari 350 tahun. Saya yakin kalian percaya,
pada awal kedatangannya, para pedagang Portugis atau Belanda itu memang
menyimpan misi dominasi dan eksploitasi terhadap penduduk di kepulauan
nan subur ini. Tapi percayakah kalian bahwa keserakahan para pedagang
bule itu bukanlah alasan terbesar mengapa akhirnya drama horor
penjajahan itu terjadi. Tidak, bahkan pada awalnya mereka dipenuhi
keraguan dan ketakutan; mereka hanyalah pendatang dari tanah yang jauh.
Episode pertama dari drama horor itu adalah negosiasi kepada para
penguasa tanah ini, yaitu para raja dan tuan tanah, para penguasa
politik dan ekonomi. Negosiasi itu tentang pembagian keuntungan di
antara mereka: para bule menawarkan emas, uang, dan tentu saja hiburan
ala bule yang meningkatkan libido para raja lokal plus kesempatan
pelesir ke Eropa bersama keluarga dan kolega. Kemudian para bule ‘hanya’
meminta ‘sedikit’ flora-fauna tropis dan ‘beberapa kaplingan tanah’.
Akhirnya –kita semua tahu– para raja setuju, kemudian kedua belah pihak
menggelar pesta atas suksesnya super deal itu.
Para raja begitu nyata tidak berpihak kepada rakyatnya dan hanya
menghitung keuntungan materi dari kerjasama itu. Akibatnya, di balik
panggung pesta itu, rakyat jelata merana. Demi melengkapi segala
kebutuhan pesta gila itu, mereka harus bekerja pagi, sore, siang, dan
malam. Para jelata makin kurus, para raja makin gemuk, dan para bule
melenggang kangkung di kandang lawan (karena yang seharusnya lawan, kini
sudah jadi teman). Demikianlah, percampuran keserakahan para tamu yang
tidak tahu malu dengan keserakahan tuan rumah yang tidak peduli, telah
menyisakan ampas sejarah itu: penjajahan. Benarkah mereka tidak malu?
betulkah mereka tidak peduli? Tentu saja tidak, malu dan peduli adalah
dua kata pertama yang hilang dari kamus para serakah, para penjajah.
Demikianlah, telah jelas bagi kita skenario hitam kolonialisme, yaitu
konspirasi jahat antara pihak asing dengan penguasa –politik dan
ekonomi– domestik. Karenanya jangan heran kalau ada beberapa raja pada
masa itu kurang setuju menyebut Portugis dan Belanda sebagai penjajah.
Sebab mereka telah merasakan cukup banyak ‘kemajuan’ selama kerjasama
dengan pihak asing itu. Bukankah asing itu telah membangun begitu banyak
sarana dan prasarana di kerajaan? dan bukankah anak-anak para bangsawan
sudah bisa bersekolah di sekolah-sekolah khusus kaum bangsawan?
Kedengarannya sangat logis kan? Memang begitulah pola pikir para
opurtunis borjuis. Kepentingan rakyat tidak pernah masuk prioritas.
Setelah episode pertama berjalan mulus, yaitu setelah mendapat
simpati dari para penguasa setempat, pihak asing itu makin merajalela.
Mereka akhirnya mendominasi seluruh regulasi, baik dalam bidang politik,
ekonomi, militer, dan sebagainya. Para raja yang lengah pada awal
cerita, perlahan mulai menjadi pecundang, sub-ordinat, dan bahkan sama
sekali kehilangan otoritas. Para raja akhirnya dipaksa tunduk bertekuk
lutut dan mengakui kedaulatan asing di tanah mereka sendiri. Sungguh
ironis; para raja masih memakai mahkota dan duduk di singgasana, tapi
sudah tuna kuasa. Pihak asing menjadi penguasa tunggal,
single absolute authority. Episode selanjutnya mudah ditebak: eksploitasi SDA dan dehumanisasi SDM tanpa batas.
Para raja yang telah menjadi pecundang di kandang sendiri, akhirnya
mencoba bangkit, merebut kembali supremasinya. Tapi ibarat pohon, mereka
merasakan betapa sulitnya upaya kebangkitan itu, terutama setelah
sekian lama sikap kepedulian tidak dipupuk dan tangkai-tangkai
kewenangan yang sudah dipangkas habis pihak asing. Dalam upaya
kebangkitan itu, para raja se-nusantara memiliki motif berbeda; sebagian
kecilnya berjuang dengan alasan idealis-ideologis, Pangeran Diponegoro
di Jawa, Pangeran Antasari di Kalimantan, dan Sultan Hasanuddin dari
Sulawesi adalah representasi fenomenal dari golongan minoritas ini. Yang
paling banyak adalah raja-raja yang melawan setengah hati (tidak total,
apalagi tulus) dan akhirnya kalah total. Sisanya hanya berkutat dengan
perang antar sesama saudara dengan motif materi dan keserakahan yang
nyata, menjadi sasaran empuk dari politik
devide et imperaBelanda.
Demikian pula dari kalangan rakyat jelata, ada juga sedikit dari
mereka yang maju ke medan konfrontasi bergabung dengan barisan para
pejuang. Tapi kebanyakannya telah tumbuh menjadi pengecut, dan tidak
peduli. Ternyata ketidakpedulian bukan hanya menjadi
trade markpara
penjajah, tapi juga menjadi ciri utama kaum terjajah. Selain itu, yang
juga banyak jumlahnya adalah para jelata yang menjadi mata-mata dan
tukang pukul pihak Belanda. Inilah ‘anjing-anjing peliharaan’ para
meneer yang banyak berkeliaran di kampung-kampung; menggonggong dan
menggigit saudara sendiri.
Muridku,
Bandingkanlah episode kelam penjajahan itu dengan realitas kehidupan
berbangsa kita hari ini. Tidakkah kalian melihat begitu banyak kesamaan?
Tentang ‘raja-raja’ kita yang menjual murah kekayaan alam negeri ini
kepada korporasi asing, tentang gemerlap mewahnya kehidupan para
petinggi negara dan daerah dari hasil negosiasi itu plus dana APBN dan
APBD yang mengalir deras ke rekening pribadi dan kolega mereka, tentang
para preman yang menghantui ibu kota hingga pelosok desa, tentang
pemimpin di berbagai lini yang serakah dan tumpul rasa peduli, tentang
wong cilik yang tumbuh menjadi pengecut dan juga tidak peduli, tentang
budaya instan yang menjalari hampir kita semua, tentang A sampai Z
coreng-moreng yang merupakan ciri-ciri substantif penjajahan yang masih
melekat di sekujur tubuh bangsa besar ini?
Muridku,
Maafkanlah aku, bila mengatakan bahwa kita belumlah benar-benar
merdeka. Ciri-ciri orang merdeka belumlah dimiliki sebagian besar
masyarakat kita; mereka masih tertinggal jauh, tidak punya akses,
uneducated,
miskin, dan frustrasi. Ciri-ciri orang memerdekakan belumlah dimiliki
mayoritas pemimpin kita; mereka masih terlalu sibuk dengan proyek
pribadinya, terlalu banyak basa-basi, pakem kepemimpinannya masih
tradisionalis-formalis-egois-opurtunis. Mereka belum lagi peka, belum
mau peduli, belum mau melayani, belum, belum, dan memang belum.
Mengapa akhirnya kita bisa merdeka? Adalah pertanyaan yang menjadi
diskursus menarik untuk dikaji ulang, bukan hanya karena ia menjadi
segmen sejarah yang sangat penting, tetapi juga karena ia harus menjadi
road map bagi
generasi hari ini untuk menapaktilasi jalan kemerdekaan sejati. Ada dua
argumen utama sebagai jawabannya. Pertama, semangat kepahlawanan, yaitu
semangat mau berkorban untuk kepentingan yang lebih besar, mengikis
egosentrisme dan megalomania, penuh totalitas, dan tidak mengharap
imbalan apapun. Kedua, semangat nasionalisme, yaitu semangat dan
kerangka juang yang menasional; menyeluruh secara demografis dan
antropologis, tidak lokalis, dan tidak etnosentris.
Dengan semangat kepahlawanan yang tertancap kuat, maka benih
penjajahan tidak akan pernah tumbuh. Kepahlawanan dan penjajahan adalah
dua kutub kontradiktif; kehidupan bagi yang satu berarti kematian bagi
yang lain. Individu yang merdeka adalah yang bermental pahlawan,
demikian pula komunitas dalam skala apapun, hanya mereka yang memiliki
sifat kepahlawanan yang tidak akan terjajah. Para pahlawan tidak pernah
terjajah, mereka lebih memilih maju ke medan tempur dan membangun barak
pertahanan di hutan-hutan, tidak pernah mengeluh dalam dingin yang
menggigit, lapar yang melilit, dan luka-luka yang parah. Jangankan hanya
harta dan tenaga, bahkan nyawa siap mereka korbankan demi kata merdeka.
Jadi bisa kita katakan bahwa proklamasi itu adalah dari, oleh, dan
untuk para pejuang, para pahlawan.
Semangat kepahlawanan yang terserak dalam ranah individual dan
terlokalisasi dalam lingkup kedaerahan, tidak akan pernah cukup untuk
mengenyahkan penjajahan yang
super power. Ia harus dipersatukan
dalam wadah yang lebih besar agar memiliki kekuatan yang juga super.
Demikianlah nasionalisme harus menjadi wadah semangat kepahlawanan yang
membara. Tanpa wadah itu, semangat kepahlawanan akan habis tertumpas
tanpa bekas. Analogi relasional antara semangat kepahlawanan dan
semangat nasionalisme adalah bagaikan sebutir telur: kepahlawanan adalah
isinya, nasionalisme adalah cangkangnya. Isi tanpa cangkang hanya akan
membusuk dengan cepat, sebaliknya cangkang tanpa isi hanyalah benda
ringkih tiada fungsi. Kepahlawanan minus nasionalisme hanya memberikan
kemerdekaan temporal dan parsial, sementara nasionalisme tanpa
kepahlawanan bahkan tidak akan memberi kemerdekaan apapun.
Semangat kepahlawanan lokalistik dan sporadik yang bergejolak di
seantero nusantara, hanya membuat penjajah bergeming. Sampai sejarah
akhirnya memberi validasi tentang sahihnya kolaborasi kepahlawanan dan
nasionalisme itu. Adalah Budi Oetomo pada 1908, kemudian disusul Soempah
Pemoeda 1928 lahir sebagai kanal potensi besar kepahlawanan anak-anak
negeri yang akhirnya bermuara pada momen gigantis dalam lakon sejarah
heroisme yang panjang: proklamasi 17 Agustus 1945.
Muridku,
Munculnya carut marut bangsa hari tidak lain kecuali disebabkan oleh
krisisnya semangat kepahlawanan dan nasionalisme anak-anak bangsa.
Inilah PR terbesar semua komponen bangsa hari ini tanpa kecuali. Jadi,
mari kita semai benih kepahlawanan itu sekarang, kita tidak boleh
menundanya, karena penundaan hanya akan memperpanjang nafas keterjajahan
dan penistaan terhadap diri dan negeri. Mari bersama kita siram dan
pupuk benih itu dengan nasionalisme sejati, bahwa kita adalah milik
Indonesia dan Indonesia adalah milik kita.
Marilah, mari datang ke sekolah pagi-pagi, mulailah hari dengan
optimisme pahlawan sejati untuk mengerahkan seluruh energi dan potensi
meraih prestasi. Bukalah lembar demi lembar buku pelajaran itu dengan
rasa ingin tahu yang menggebu. Jalinlah hubungan yang humanis lagi
harmonis dengan rekan-rekan dan semua guru. Berbahasalah yang sopan nan
elegan. Peliharalah kerapihan, kebersihan, dan keasrian lingkungan agar
sekolah menjadi rumah yang nyaman. Berolahragalah dengan penuh gairah,
dan jangan biarkan sedikitpun ada sampah. Jauhi rokok, miras, dan
narkoba dan tidak usahlah mengenalnya. Masukilah laboratorium dengan
senyum. Duduklah membaca sembari menganalisa di perpustakaan dengan rasa
nyaman.
Setelah itu, pulanglah ke rumah dengan wajah cerah. Temui ayah, ibu,
dan saudara, pergaulilah mereka dengan santun dan penuh etika. Tambahlah
waktu belajarmu di rumah secara mandiri, manfaatkan teknologi
informasi. Jangan sekali-kali bertindak anarkis, jangan pula sentuh itu
pornografi, tahanlah diri. Kemudian tekunlah beribadah, jaga hubunganmu
dengan-Nya agar segala urusanmu menjadi mudah.
Murid-muridku,
Aku tahu, begitu sulit menjadi pahlawan hari ini, ada begitu banyak
godaan, ada sedemikian rupa hiburan yang menyesatkan. Selamanya tidak
mudah menjadi pemuda yang baik. Memang, selamanya selalu sulit menjadi
pahlawan, tidak akan pernah ringan, ada begitu banyak rintangan. Tapi
itulah satu-satunya jalan kemerdekaan, tidak ada jalan lain.
There’s no way but one. Jadi berjuanglah, jangan pernah menyerah, jangan, sekali-kali jangan.
Marilah murid-muridku. Mari kita berpegangan tangan, satukan visi,
satukan misi, satukan aksi. Berjuang tiada henti, untuk kemerdekaan
sejati, untuk Indonesia Raya yang benar-benar merdeka; rakyat adil,
makmur, dan sejahtera. Untuk Indonesia yang menjadi pemenang. Untuk
menang kita harus berjuang, tiada yang berjuang kecuali pahlawan. Untuk
menjadi pemenang esok hari, kalian harus jadi pahlawan hari ini. Untuk
menjadi pahlawan bagi bangsa kemudian hari, kalian harus menjadi
pahlawan di rumah dan di sekolah hari ini. Jadilah pahlawan bagi
ayah-ibu dan bapak-ibu guru lebih dulu, kelak nanti kalian akan jadi
pahlawan bagi bangsa dan negara.
Ya, hari ini, tumbuhkan kejujuran dalam dirimu, jangan pernah
mencontek meski kalian tidak diawasi. Rawatlah sikap toleransi dan rasa
empati kepada sesama, jangan sekalipun pernah mengejek temanmu, sehebat
apapun kamu. Kembangkanlah sikap disiplin dan patuh terhadap segala
aturan, jangan coba-coba membolos, siapapun yang menggodamu. Dan jangan
pernah alpa untuk menjadi religius dalam kondisi apapun.
Tumbuhkembangkan semua itu, kelak kalian pasti tumbuh menjadi pahlawan,
menjadi protagonis dalam kisah kemerdekaan. Bersihkan dirimu dari kuman
keserakahan, ketidakpedulian, dan egosentrime. Bila tidak, kalian hanya
akan tumbuh menjadi pecundang, menjadi antagonis dalam lakon penjajahan
tiada akhir.
Murid-muridku,
Saat ini kalian adalah pemimpin untuk diri sendiri. Setelah itu
kalian akan menjadi pemimpin bagi orang lain. Saat tongkat estafet itu
ada di tanganmu, maka jadilah pengayom, jadilah pelayan, jadilah
pahlawan. Jangan justru menjadi penindas, jangan menjadi penghianat.
Jangan jadi penjajah bangsamu sendiri!
*Penulis adalah Peserta Lomba Essai Guru Nasional Lazuardi Birru tahun 2011