Oleh: Ahmad Baedowi*
SEORANG guru agama pada sebuah
sekolah menengah pertama (SMP) di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, mengeluh
tentang rasa jenuh dan bosan yang menerpanya setiap saat ketika mengajar.
Perasaan bosan dalam mengajar seperti virus yang setiap saat menggerus keyakinannya
bahwa mengajar ialah ibadah.
Perasaan bosan juga muncul karena
apa yang diajarkannya kepada siswa selalu harus diulang dalam rangkaian tes dan
evaluasi yang hanya mengejar angka-angka kelulusan siswa sebagai penanda
berakhirnya rangkaian proses belajar-mengajar.
Alhasil, karena disorientasi
dalam mengajar, bisa dikatakan bahwa perasaan bosan menerpa hampir seluruh guru
di sekolah. Penyebabnya selalu tidak tunggal, tetapi banyak faktor. Namun, jika
diurut secara saksama faktor dominan apa yang menyebabkan munculnya perasaan
bosan para guru, ternyata ialah minimnya imajinasi kreatif dalam melakukan
proses belajar-mengajar. Minimnya imajinasi kreatif lebih banyak disebabkan
ketergantungan yang tinggi kepada bahan ajar dan instruksi-instruksi tiada
henti dari para kepala sekolah, pengawas, dan dinas terkait tentang kurikulum.
Bukti dan bentuk kebosanan
lainnya saya dapati dari ratusan kali workshop tentang kurikulum 2013. Ketika
mengajak para guru untuk mengubah mindset atau cara pandang tentang mengapa
kurikulum harus berubah, saya tak menggunakan lembar demi lembar slide Rhenald
Kasali yang disediakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Padahal, substansi perubahan paradigma tentang kurikulum dalam rangkaian proses
pelatihan kurikulum sangatlah penting. Karena itu, menurut hemat saya, daripada
memberikan mereka paradigma perubahan dari tuntutan global yang belum tentu
cocok dengan gaya berpikir guru, lebih baik mengajak mereka untuk melihat
persoalan kreativitas dari sisi mereka sendiri.
Imajinasi visual
Dalam setiap workshop, saya
selalu meminta para guru untuk membuat imajinasi visual tentang kurikulum.
Imajinasi visual didasarkan pada teori belajar berbasis otak (brainbased
learning theories) yang kurang lebih menyebutkan setiap kata yang diucapkan
atau dibaca seseorang sesungguhnya ditangkap otak kita secara visual atau dalam
bentuk gambar. Misal, ketika kata ‘gajah’ saya sebut, imajinasi para guru
tentang gajah amatlah beragam. Ada yang menangkap gambar belalainya, gading, kaki
dan badannya yang besar, dan kupingnya yang lebar. Tak pernah sekali pun otak
kita menangkap kata gajah dalam bentuk rangkaian huruf g, a, j, a, dan h.
Dengan berangkat dari teori itu,
saya minta para guru untuk membuat definisi kurikulum secara visual. Hasilnya?
Hampir semua guru selalu memandang negatif soal kurikulum karena imajinasi
visual mereka tentang kurikulum tak jauh dari gambar dokumen (lesson plan),
buku, pengawas, siswa, sekolah, uang, pensil, wajah orang dinas pendidikan,
wajah menteri, benang kusut, dan sebagainya. Jika ditanya lebih lanjut, hampir
semua mengakui imajinasi mereka soal kurikulum sangatlah negatif, bahkan
cenderung traumatik. Hal itu disebabkan selama ini tuntutan soal kurikulum
lebih banyak bersifat formal sehingga menghambat kreativitas guru dalam
melakukan proses belajar-mengajar yang kreatif dan menyenangkan.
Padahal, sejatinya kreativitas
ialah anugerah Tuhan yang hampir pasti dimiliki setiap manusia. Hanya,
kreativitas dapat memiliki banyak makna, bergantung pada aspek dan bidang apa
yang akan digeluti seseorang. Sebagai bagian dari proses bekerja pikiran atau
inteligensia manusia, kreativitas kerap jarang bisa dipahami secara langsung,
bahkan oleh seseorang yang disebut kreatif sekalipun. Karena itu, benarlah jika
kreativitas didefinisikan sebagai proses mental dan sosial yang melibatkan daya
kerja otak yang berusaha menggabungkan konsep-konsep yang ada dengan ide-ide
tertentu yang belum terlihat wujudnya.
Berpikir kreatif merupakan proses
mental yang melibatkan pemunculan gagasan atau anggitan (concept) baru, atau
hubungan baru antara gagasan dan anggitan yang sudah ada. Dalam bahasa Guilford
(dalam Munandar, 2009) kemampuan itu disebut berpikir divergen atau pemikiran
menjajaki bermacam-macam alternatif jawaban terhadap suatu persoalan yang sama
benarnya. Perkembangan kemampuan berpikir kreatif dipengaruhi dua faktor utama;
keturunan dan lingkungan. Jika melihat pengalaman itu, jelas hambatan
kreativitas guru lebih banyak disebabkan pengaruh lingkungan dan sistem pendidikan
yang melihat kurikulum secara tidak kreatif.
Faktor lingkungan
Padahal, sebetulnya semua orang
diciptakan kreatif. Lingkunganlah yang membuat potensi kreatif itu tidak dapat
berkembang dengan optimal. Di antara kendala mental yang menghambat perkembangan
kreativitas antara lain ialah kesulitan untuk mencari jawaban yang benar
(trying to find the ‘right’ answer).
Salah satu dampak buruk dari
pendidikan formal ialah fokusnya pada jawaban benar untuk pertanyaan atau
masalah tertentu. Meskipun pendekatan itu membantu kita melakukan fungsi-fungsi
sosial dalam masyarakat, cara tersebut berakibat buruk bagi pengembangan
pemikiran kreatif individu. Orang kemudian banyak mengalami kesulitan ketika
harus menyelesaikan permasalahan kehidupan nyata yang tidak hitam-putih,
ambigu.
Karena faktor lingkungan, para
guru cenderung `patuh' secara membabi buta terhadap aturan soal kurikulum,
misalnya, sehingga mengikuti aturan (following rules) menjadi jalan
satu-satunya untuk selamat dari penilaian para pengawas.
Kebiasaan itu tentu saja membunuh
kreativitas guru karena mereka tak berani menabrak aturan. Padahal, terkadang
aturan harus dipecah, ditabrak, untuk berinovasi. Tentu saja hal itu berisiko.
Jadi, apa yang harus kita lakukan? Melanggar aturan mental. Cukup dengan
bertanya, “Apa aturan saat ini yang menghentikan saya untuk menjadi lebih
produktif?“ Kita selalu dapat menantang aturan tertentu tanpa harus
melanggarnya. Sering kali, selama proses kreatif ini, kita akan menemukan bahwa
banyak hal inovatif dapat dicapai jika aturan dirusak atau diubah.
Persoalannya, nyaris tak ada keberanian dari para guru untuk melawan aturan
secara kreatif.
* Penulis adalah Direktur
Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
Sumber: MEDIA INDONESIA, 06 Januari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar